Loading...
Judul : Balada Seorang Penulis
link : Balada Seorang Penulis
Balada Seorang Penulis
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari" (Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia).
Membaca dan merenung. Itu yang saya tulis dalam kolom hobi di buku kenangan SMA. Suratan takdir kemudian membawa saya menjadi penulis, profesi yang berkaitan dengan membaca dan merenung. Saya berani mengklaim diri sebagai penulis karena sesuai dengan definisi profesi yakni pekerjaan yang daripadanya orang memperoleh penghasilan dan untuk melakukannya memerlukan keahlian. Saya suka memasak di rumah tetapi tidak dapat menamakan diri chef. Saya suka menyanyikan lagu-lagu karya A. Riyanto atau Rinto Harahap di kamar mandi, tetapi saya tidak bisa mengklaim diri sebagai penyanyi. Karena dari dua pekerjaan tersebut saya tidak memperoleh penghasilan. Selain itu, sudah lima buku saya diterbitkan dan lumayan laku di pasaran. Saya juga menerjemahkan lima buku dan menulis artikel di media massa, baik di dalam maupun luar negeri. Saya ingin juga menulis novel.
Apa hubungan membaca dan merenung dengan menulis? Semua penulis buku memerlukan bacaan untuk latar belakang, bahan pembanding atau pendukung gagasan. Barangkali satu kekecualian adalah Sir Charles Darwin yang konon menulis buku The Origin of Species by Means of Natural Selections (1859) dari pengamatannya selama berlayar ke berbagai penjuru dunia. Di autobiografinya, Darwin mengatakan sedikit belajar dari buku meskipun kuliah di Cambridge University.
Seberapa besar pengaruh merenung dalam menulis buku? Charles Bazerman dalam bukunya The Informed Writer (1985) menulis bahwa jika orang menelan bacaan tanpa pemikiran, ia hanya akan menerima frase kosong. Ia bisa menirukan frase tersebut dalam ujian atau paling banter mampu mengatakan sesuatu yang baru. Perenungan mempengaruhi perilaku pembaca dan bisa menciptakan sesuatu yang baru.
Menulis Itu Sulit
Arswendo Atmowiloto pernah menulis buku berjudul Mengarang Itu Gampang. Sayangnya, pengalaman saya membantah klaim tersebut. Berprofesi sebagai penulis tidak mudah dari segi teknis, ekonomi, sosial, dan bahkan politik.
Dari segi teknis, ada anggapan bahwa masalah seorang penulis adalah mengisi halaman kosong: mencari kalimat pembuka dan yang lain akan mengalir. Anggapan ini lebih banyak salah daripada benarnya.
Dalam praktik, semua penulis saya kira mempunyai tujuan tertentu yang untuk mencapainya perlu rencana, strategi dan teknik. Setelah membuat rencana dan menetapkan strategi penulisan, penulis harus bisa menemukan bahan tulisan, apakah berupa dokumen hukum, buku, artikel, data statistik, maupun referensi ilmiah. Agar tulisan menarik, penulis harus mencari lelucon, kutipan atau hasil observasi langsung. Setelah bahan terkumpul, penulis harus mencari bahan dan memilih bahasa dan nada yang diperkirakan pas bagi calon pembaca. Penulis harus terampil dalam menggunakan teknik paraphrasing (mereproduksi bacaan dengan bahasa sendiri), summarizing (meringkas isi bacaan), menggunakan kutipan langsung atau tidak langsung. Penulis harus memilih apakah menggunakan struktur kalimat pendek atau panjang, sederhana atau majemuk, menggunakan kata umum atau istilah teknis.
Dari segi sosial, saya pernah ditanya anak yang baru berusia lima tahun, "Di mana kantor Bapak?" Tetangga ingin tahu bagaimana saya dapat uang padahal jarang ke luar rumah. Kerabat lebih tenang dan bangga kalau saya bekerja di perusahaan yang lebih pasti. Bahkan kalangan profesional kurang menghargai profesi ini. Pernah sebuah biro iklan memberi job membuat tulisan dalam bahasa Inggris. Dengan niat baik, pekerjaan tersebut saya lakukan meskipun belum ada kontrak. Tetapi di seperempat jalan, karena alasan yang tidak jelas, kontrak diputus dengan alasan klien mencari penulis bule. Saya tidak tahu ini cerminan inferior complex atau ketidaktahuan staf di biro iklan atau kliennya. Tidak ada jaminan orang expatriat dapat menulis dalam bahasa Inggris lebih baik, seperti tidak semua orang Indonesia dapat menulis dengan baik dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya, kalau bule tersebut dapat menuliskannya dengan baik tentu mereka akan kompetitif berkarir di negeri asalnya.
Dari segi ekonomi, ketika membaca buku masih dianggap sebagai hobi, maka peluang menulis untuk sukses secara ekonomi sangat kecil. Dengan standar royalti 10% dari harga jual dan sekali cetak hanya 3.000 eksemplar, maka penghasilan penulis buku sangat tidak memadai. Berdasarkan pengalaman, kalau buku dicetak ulang dua kali maka hasilnya hanya setara dengan biaya produksi dan biaya hidup sederhana selama menulis buku tersebut. Biaya itu untuk membeli buku referensi, koran, majalah, fotokopi data di perpustakaan, dan tinta. Menulis artikel tidak cucuk, alias hasilnya tidak sebanding dengan usaha seperti membaca, meriset dan berpikir. Saya menerima honor US$ 200 untuk sebuah artikel 1.000 kata dari media asing. Di media lokal, artikel dengan jumlah kata yang sama honornya antara Rp. 75.000 sampai Rp. 300.000. Akibatnya, bukannya bertambah, tabungan penulis menyusut selama lima tahun berprofesi sebagai penulis. Ada satu ironi lagi bagi penulis, seperti dilaporkan di jurnal mahasiswa UGM Balairung edisi 34 / XVI / 2001, banyak penulis yang dinakali penerbitnya yang ujung-ujungnya penulis menerima royalti lebih rendah dari seharusnya. Ini menegaskan anggapan bahwa penulis tidak cukup diperhitungkan dalam dunia penerbitan.
Secara legal hak cipta penulis kurang dilindungi seperti terbukti dengan keluhan banyak pengarang yang bukunya dibajak. Saya sering berkhayal suatu ketika hak cipta penulis dihormati sebagaimana di Amerika Serikat (AS). Sekitar dua tahun lalu, Pengadilan Tinggi AS memenangkan Jerry Greenberg, fotografer lepas yang menggugat penerbit digital, the National Geographic Society (NGS) untuk memberi kompensasi baru atas fotonya yang semula terbit di majalah National Geography dan kemudian dimuat di CD-ROM produksi NGS. Menurut Jerry, foto dalam CD-ROM harus diberi kompensasi baru karena mempunyai musik, iklan baru dan item lain yang tidak ada dalam terbitan cetak. Pengelola National Geography yang terbit sejak 1888, berpendapat bahwa CD-ROM tidak mengubah isi, format atau penampilan foto tersebut. Kemenangan Jerry adalah kemenangan kedua atas tuntutan hak cipta profesional lepas. Kasus ini mengikuti keputusan atas kasus Tasini melawan The New York Times yang mengatakan bahwa penerbit yang mereproduksi secara digital artikel tanpa izin, atau memberi kompensasi baru kepada pengarang dinyatakan melanggar hak cipta. Hakim dalam kasus Tasini berpendapat bahwa reproduksi artikel ke dalam mikrofilm diizinkan di bawah UU Hak Cipta AS karena artikel tersebut tampak sama persis seperti dalam cetak. Tetapi artikel di situs jejaring dipandang sebagai sebuah produk yang berbeda.
Berbagai uraian di atas kiranya cukup menjelaskan mengapa tidak banyak orang mau berprofesi penulis. Suatu ketika saya bertanya kepada editor saya di Elex Media, yang menerbitkan tiga buku saya, apakah ada pengarang yang berprofesi sebagai penulis seperti saya. Jawabannya: kelihatannya tidak ada.
Secara politik, jika Anda belajar sejarah Eropa, tempat lahirnya isme-isme yang berkembang saat ini, Anda akan mengetahui bahwa penulis adalah profesi beresiko. Pada zaman renaissans banyak penulis menjadi musuh kerajaan atau gereja. Karya mereka disensor atau dibredel dan banyak penulis yang dipenjara. Di Indonesia kita haras mencuri-curi agar bisa membaca novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar. Saya membaca beberapa novelnya di perpustakaan kebudayaan UGM yang dipimpin almarhum Umar Kayam semasa kuliah. Pramoedya seperti kita tahu mendekam selama belasan tahun karena profesinya.
Perjalanan Menjadi Penulis
Ketika masih menjadi wartawan, saya ingin menulis buku. Toh jenis pekerjaannya sama: membaca, mengumpulkan data dan menulis. Tetapi faktanya sulit. Jangankan menulis buku, membaca buku saja sering harus dilakukan dalam bis kota atau ketika menunggu narasumber atau event yang diliput. Ketika dorongan menulis buku semakin kuat, penulis memutuskan untuk keluar dari profesi wartawan dan menjadi penulis profesional pada 1998. Untuk modal, saya membeli komputer lengkap dengan modem, mesin faksimili, perekam (untuk menangkap gagasan yang muncul saat tidak dalam posisi bagus untuk menuliskan), dan kamera. Saya memusatkan perhatian pada masalah keuangan pribadi (personal finance) karena tiga alasan.
Membaca dan merenung. Itu yang saya tulis dalam kolom hobi di buku kenangan SMA. Suratan takdir kemudian membawa saya menjadi penulis, profesi yang berkaitan dengan membaca dan merenung. Saya berani mengklaim diri sebagai penulis karena sesuai dengan definisi profesi yakni pekerjaan yang daripadanya orang memperoleh penghasilan dan untuk melakukannya memerlukan keahlian. Saya suka memasak di rumah tetapi tidak dapat menamakan diri chef. Saya suka menyanyikan lagu-lagu karya A. Riyanto atau Rinto Harahap di kamar mandi, tetapi saya tidak bisa mengklaim diri sebagai penyanyi. Karena dari dua pekerjaan tersebut saya tidak memperoleh penghasilan. Selain itu, sudah lima buku saya diterbitkan dan lumayan laku di pasaran. Saya juga menerjemahkan lima buku dan menulis artikel di media massa, baik di dalam maupun luar negeri. Saya ingin juga menulis novel.
Apa hubungan membaca dan merenung dengan menulis? Semua penulis buku memerlukan bacaan untuk latar belakang, bahan pembanding atau pendukung gagasan. Barangkali satu kekecualian adalah Sir Charles Darwin yang konon menulis buku The Origin of Species by Means of Natural Selections (1859) dari pengamatannya selama berlayar ke berbagai penjuru dunia. Di autobiografinya, Darwin mengatakan sedikit belajar dari buku meskipun kuliah di Cambridge University.
Seberapa besar pengaruh merenung dalam menulis buku? Charles Bazerman dalam bukunya The Informed Writer (1985) menulis bahwa jika orang menelan bacaan tanpa pemikiran, ia hanya akan menerima frase kosong. Ia bisa menirukan frase tersebut dalam ujian atau paling banter mampu mengatakan sesuatu yang baru. Perenungan mempengaruhi perilaku pembaca dan bisa menciptakan sesuatu yang baru.
Menulis Itu Sulit
Arswendo Atmowiloto pernah menulis buku berjudul Mengarang Itu Gampang. Sayangnya, pengalaman saya membantah klaim tersebut. Berprofesi sebagai penulis tidak mudah dari segi teknis, ekonomi, sosial, dan bahkan politik.
Dari segi teknis, ada anggapan bahwa masalah seorang penulis adalah mengisi halaman kosong: mencari kalimat pembuka dan yang lain akan mengalir. Anggapan ini lebih banyak salah daripada benarnya.
Dalam praktik, semua penulis saya kira mempunyai tujuan tertentu yang untuk mencapainya perlu rencana, strategi dan teknik. Setelah membuat rencana dan menetapkan strategi penulisan, penulis harus bisa menemukan bahan tulisan, apakah berupa dokumen hukum, buku, artikel, data statistik, maupun referensi ilmiah. Agar tulisan menarik, penulis harus mencari lelucon, kutipan atau hasil observasi langsung. Setelah bahan terkumpul, penulis harus mencari bahan dan memilih bahasa dan nada yang diperkirakan pas bagi calon pembaca. Penulis harus terampil dalam menggunakan teknik paraphrasing (mereproduksi bacaan dengan bahasa sendiri), summarizing (meringkas isi bacaan), menggunakan kutipan langsung atau tidak langsung. Penulis harus memilih apakah menggunakan struktur kalimat pendek atau panjang, sederhana atau majemuk, menggunakan kata umum atau istilah teknis.
Dari segi sosial, saya pernah ditanya anak yang baru berusia lima tahun, "Di mana kantor Bapak?" Tetangga ingin tahu bagaimana saya dapat uang padahal jarang ke luar rumah. Kerabat lebih tenang dan bangga kalau saya bekerja di perusahaan yang lebih pasti. Bahkan kalangan profesional kurang menghargai profesi ini. Pernah sebuah biro iklan memberi job membuat tulisan dalam bahasa Inggris. Dengan niat baik, pekerjaan tersebut saya lakukan meskipun belum ada kontrak. Tetapi di seperempat jalan, karena alasan yang tidak jelas, kontrak diputus dengan alasan klien mencari penulis bule. Saya tidak tahu ini cerminan inferior complex atau ketidaktahuan staf di biro iklan atau kliennya. Tidak ada jaminan orang expatriat dapat menulis dalam bahasa Inggris lebih baik, seperti tidak semua orang Indonesia dapat menulis dengan baik dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya, kalau bule tersebut dapat menuliskannya dengan baik tentu mereka akan kompetitif berkarir di negeri asalnya.
Dari segi ekonomi, ketika membaca buku masih dianggap sebagai hobi, maka peluang menulis untuk sukses secara ekonomi sangat kecil. Dengan standar royalti 10% dari harga jual dan sekali cetak hanya 3.000 eksemplar, maka penghasilan penulis buku sangat tidak memadai. Berdasarkan pengalaman, kalau buku dicetak ulang dua kali maka hasilnya hanya setara dengan biaya produksi dan biaya hidup sederhana selama menulis buku tersebut. Biaya itu untuk membeli buku referensi, koran, majalah, fotokopi data di perpustakaan, dan tinta. Menulis artikel tidak cucuk, alias hasilnya tidak sebanding dengan usaha seperti membaca, meriset dan berpikir. Saya menerima honor US$ 200 untuk sebuah artikel 1.000 kata dari media asing. Di media lokal, artikel dengan jumlah kata yang sama honornya antara Rp. 75.000 sampai Rp. 300.000. Akibatnya, bukannya bertambah, tabungan penulis menyusut selama lima tahun berprofesi sebagai penulis. Ada satu ironi lagi bagi penulis, seperti dilaporkan di jurnal mahasiswa UGM Balairung edisi 34 / XVI / 2001, banyak penulis yang dinakali penerbitnya yang ujung-ujungnya penulis menerima royalti lebih rendah dari seharusnya. Ini menegaskan anggapan bahwa penulis tidak cukup diperhitungkan dalam dunia penerbitan.
Secara legal hak cipta penulis kurang dilindungi seperti terbukti dengan keluhan banyak pengarang yang bukunya dibajak. Saya sering berkhayal suatu ketika hak cipta penulis dihormati sebagaimana di Amerika Serikat (AS). Sekitar dua tahun lalu, Pengadilan Tinggi AS memenangkan Jerry Greenberg, fotografer lepas yang menggugat penerbit digital, the National Geographic Society (NGS) untuk memberi kompensasi baru atas fotonya yang semula terbit di majalah National Geography dan kemudian dimuat di CD-ROM produksi NGS. Menurut Jerry, foto dalam CD-ROM harus diberi kompensasi baru karena mempunyai musik, iklan baru dan item lain yang tidak ada dalam terbitan cetak. Pengelola National Geography yang terbit sejak 1888, berpendapat bahwa CD-ROM tidak mengubah isi, format atau penampilan foto tersebut. Kemenangan Jerry adalah kemenangan kedua atas tuntutan hak cipta profesional lepas. Kasus ini mengikuti keputusan atas kasus Tasini melawan The New York Times yang mengatakan bahwa penerbit yang mereproduksi secara digital artikel tanpa izin, atau memberi kompensasi baru kepada pengarang dinyatakan melanggar hak cipta. Hakim dalam kasus Tasini berpendapat bahwa reproduksi artikel ke dalam mikrofilm diizinkan di bawah UU Hak Cipta AS karena artikel tersebut tampak sama persis seperti dalam cetak. Tetapi artikel di situs jejaring dipandang sebagai sebuah produk yang berbeda.
Berbagai uraian di atas kiranya cukup menjelaskan mengapa tidak banyak orang mau berprofesi penulis. Suatu ketika saya bertanya kepada editor saya di Elex Media, yang menerbitkan tiga buku saya, apakah ada pengarang yang berprofesi sebagai penulis seperti saya. Jawabannya: kelihatannya tidak ada.
Secara politik, jika Anda belajar sejarah Eropa, tempat lahirnya isme-isme yang berkembang saat ini, Anda akan mengetahui bahwa penulis adalah profesi beresiko. Pada zaman renaissans banyak penulis menjadi musuh kerajaan atau gereja. Karya mereka disensor atau dibredel dan banyak penulis yang dipenjara. Di Indonesia kita haras mencuri-curi agar bisa membaca novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar. Saya membaca beberapa novelnya di perpustakaan kebudayaan UGM yang dipimpin almarhum Umar Kayam semasa kuliah. Pramoedya seperti kita tahu mendekam selama belasan tahun karena profesinya.
Perjalanan Menjadi Penulis
Ketika masih menjadi wartawan, saya ingin menulis buku. Toh jenis pekerjaannya sama: membaca, mengumpulkan data dan menulis. Tetapi faktanya sulit. Jangankan menulis buku, membaca buku saja sering harus dilakukan dalam bis kota atau ketika menunggu narasumber atau event yang diliput. Ketika dorongan menulis buku semakin kuat, penulis memutuskan untuk keluar dari profesi wartawan dan menjadi penulis profesional pada 1998. Untuk modal, saya membeli komputer lengkap dengan modem, mesin faksimili, perekam (untuk menangkap gagasan yang muncul saat tidak dalam posisi bagus untuk menuliskan), dan kamera. Saya memusatkan perhatian pada masalah keuangan pribadi (personal finance) karena tiga alasan.
Pertama, di Indonesia penulis bidang ini belum banyak. Kedua, saya mempunyai catatan dan kliping yang saya himpun selama tujuh tahun sebagai wartawan dan pengalaman menulis berita keuangan. Ketiga, saya pernah mengikuti berbagai pelatihan tentang keuangan dan sedikit ketrampilan membaca dan menulis dalam bahasa Inggris.
Sebelum membuat keputusan, saya berkonsultasi dengan beberapa wartawan senior yang umumnya memperingatkan bahwa penulis tidak bisa hidup. Salah satu alasan mengapa saya bersikukuh menjadi penulis adalah karena saya melihat potensi yang besar. Bagi saya, minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah adalah potensi bagi industri perbukuan. Di Indonesia ada ribuan media massa yang membutuhkan tulisan dari luar. Pada 1998, ketika ada boom perusahaan dotcom, berkembang frase content is king. Setiap situs jejaring, mesin pencari (search engine) atau pengecer online perlu isi segar dan bagus untuk menarik penjelajah datang lagi. Ternyata content di dunia maya bukan raja. Orang tidak mau membayar ketika mencari informasi di situs jejaring, sehingga banyak content provider dan perusahaan dotcom yang tumbang dan hanya segelintir seperti the Wall Street Journal, Consumer Reports, dan situs-situs porno- yang bertahan. Salah satu penyebabnya, pembaca harus membayar dulu sebelum mulai mengetahui materinya, yang seringkali hanyalah informasi dengan kualitas rendah.
Dari fakta ini saya khawatir jangan-jangan rendahnya oplah buku di Indonesia karena tidak memenuhi harapan pembaca umum. Ada beberapa penjelasan untuk ini. Pertama, prioritas atau komitmen pengarang buku bukan untuk kepentingan pembaca. Karena tujuannya bukan untuk pembaca, maka kualitasnya juga kurang sesuai. Bagaimanapun juga setiap buku ditulis dengan tujuan tertentu. Tujuan mengarahkan penulis untuk memusatkan pada fakta tertentu dan mengembangkan gagasan tertentu. Tujuan yang berbeda memunculkan pertanyaan berbeda bagi penulis. Contohnya adalah buku tentang Henry Ford. Selain biografi Henry Ford, tidak kurang ada 10 buku lain tentang Henry Ford karangan para penulis dengan tujuan berbeda. Biografi Ford melebih-lebihkan perannya dalam industri otomotif di AS demi keuntungan pribadi. Penulis manajemen mempelajari bagaimana Ford sukses berbisnis. Sejarawan menganalisa citra Ford sebagai legenda.
Sebelum membuat keputusan, saya berkonsultasi dengan beberapa wartawan senior yang umumnya memperingatkan bahwa penulis tidak bisa hidup. Salah satu alasan mengapa saya bersikukuh menjadi penulis adalah karena saya melihat potensi yang besar. Bagi saya, minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah adalah potensi bagi industri perbukuan. Di Indonesia ada ribuan media massa yang membutuhkan tulisan dari luar. Pada 1998, ketika ada boom perusahaan dotcom, berkembang frase content is king. Setiap situs jejaring, mesin pencari (search engine) atau pengecer online perlu isi segar dan bagus untuk menarik penjelajah datang lagi. Ternyata content di dunia maya bukan raja. Orang tidak mau membayar ketika mencari informasi di situs jejaring, sehingga banyak content provider dan perusahaan dotcom yang tumbang dan hanya segelintir seperti the Wall Street Journal, Consumer Reports, dan situs-situs porno- yang bertahan. Salah satu penyebabnya, pembaca harus membayar dulu sebelum mulai mengetahui materinya, yang seringkali hanyalah informasi dengan kualitas rendah.
Dari fakta ini saya khawatir jangan-jangan rendahnya oplah buku di Indonesia karena tidak memenuhi harapan pembaca umum. Ada beberapa penjelasan untuk ini. Pertama, prioritas atau komitmen pengarang buku bukan untuk kepentingan pembaca. Karena tujuannya bukan untuk pembaca, maka kualitasnya juga kurang sesuai. Bagaimanapun juga setiap buku ditulis dengan tujuan tertentu. Tujuan mengarahkan penulis untuk memusatkan pada fakta tertentu dan mengembangkan gagasan tertentu. Tujuan yang berbeda memunculkan pertanyaan berbeda bagi penulis. Contohnya adalah buku tentang Henry Ford. Selain biografi Henry Ford, tidak kurang ada 10 buku lain tentang Henry Ford karangan para penulis dengan tujuan berbeda. Biografi Ford melebih-lebihkan perannya dalam industri otomotif di AS demi keuntungan pribadi. Penulis manajemen mempelajari bagaimana Ford sukses berbisnis. Sejarawan menganalisa citra Ford sebagai legenda.
Kedua, kontrol kualitas penerbit kurang. Saya tahu ada beberapa konsultan, pejabat atau politisi yang mau tulisannya diterbitkan meskipun tidak menerima royalti. Bahkan ada di antara mereka ini membeli sendiri bukunya. Konon penerbit mau menerbitkan buku tersebut karena pembelian oleh si pengarang (author) nilainya lebih dari biaya produksi yang dikeluarkan oleh penerbit. Konsultan juga ada yang lebih senang menulis artikel di koran tanpa bayaran asal nama atau fotonya (atau keduanya) muncul di koran. Dari mana mereka memperoleh penghasilan? Dari bisnis utamanya, yakni menjadi konsultan. Dari sudut pandang lain, kalau mereka menulis apa yang mereka ketahui dan perlu diketahui pembaca, mereka pasti akan kehilangan bisnis konsultasinya. Tujuan pejabat dan politisi mengarang buku umumnya demi kepentingan politis atau mendukung pendapat atau kebijakan politik tertentu. Berdasarkan definisi, mereka ini bukan penulis.
Peran Penulis
Peran Penulis
Alasan lain saya ingin menjadi penulis adalah karena pengaruhnya yang besar pada pembaca dan masyarakat. Saya sering mengidentifikasikan diri dengan Agung Sedayu, tokoh dalam cerita fiksi Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja dan terinspirasi oleh tokoh-tokoh dalam tetralogi fiksi karya Pramoedya. Peran penulis bagi saya bahwa kemajuan Eropa ke level sekarang karena tradisi baca dan tulis yang bermula pada zaman renaissans, rangkaian pergerakan sastra dan budaya di abad 14, 15, dan 16 yang dimulai di Italia dan meluas ke seluruh penjuru Eropa. Pada waktu itu, penduduk lewat tulisan para penulis menghidupkan kembali nilai-nilai, seni dan sastra klasik dan menyebarkan ke semua kelas masyarakat. Perkembangan ini terjadi karena teknologi cetak.
Pada zaman sebelumnya, Zaman Pertengahan, hanya elit saja yang mempelajari seni dan sastra klasik. Ini seperti sastra Jawa yang hanya dipelajari kalangan keraton dan cerdik cendikia saja. Kebiasaan membaca masyarakat Eropa kemudian menimbulkan nafsu menjelajah ilmu pengetahuan, dan di antaranya adalah geografi. Ini yang memperkenalkan mereka dengan dunia baru yang membuat Eropa kaya raya sampai sekarang. Penggerak gerakan renaissans adalah humanisme, sebuah filosofi yang didasarkan pada gagasan bahwa manusia adalah mahluk rasional.
Humanisme menekankan kemuliaan dan menghargai kemampuan dan bakat individu di banyak bidang seperti olahraga, sastra dan ilmu pengetahuan.Gagasan yang berkembang selama zaman renaissans menjadi dasar bagi pemikir dan penulis di zaman pencerahan, yakni abad ke-18, zaman ketika pencapaian ilmiah mengemuka. Renaissans adalah tahap penting dalam membebaskan pikiran dari takhayul dan kesalahan yang ada di masyarakat Kristen selama Zaman Pertengahan.
Penulis juga mampu menangkap dinamika masyarakat. Perseteruan gereja dan kerajaan pada zaman renaissans misalnya mengilhami Niccolo Machiavelli menulis buku yang sangat terkenal, Il Principe (1532). Dalam bukunya ini Niccolo berpendapat bahwa seni memerintah ada pada ilmu pengetahuan bukannya pada prinsip agama. Dia memusatkan pada cara mempertahankan negara dengan sarana apapun selain the Bible. Dia bahkan menerima prinsip bahwa tujuan menghalalkan segala cara/sarana, kalimat yang banyak dikutip di mana-mana.
Menurut hemat saya, buku juga dapat berperan penting dalam membangun bangsa. Selain sarana belajar atau menyerap informasi, buku paling baik. Buku mendorong pembacanya aktif. Agar dapat memahami, mengingat atau mengembangkan bacaan, pembaca harus mampu berkomunikasi dua arah dengan bacaan. Caranya adalah dengan membuat catatan pinggir, memberikan komentar atas isi bacaan di sisi atas dan juga membuat jurnal bacaan. Sebaliknya, belajar melalui radio dan televisi akan mendorong orang cenderung pasif. Karena sifatnya sekali dan hilang maka proses komunikasi cenderung searah. Saya setuju dengan pendapat umum bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan masyarakat Indonesia adalah belum adanya tradisi baca dan tulis.
Di Indonesia, budaya baca tulis dimulai sekitar abad ke-11, atau tepatnya tahun 1030 ketika Mpu Panuluh menulis naskah Arjuna Wiwaha dengan huruf Jawa Kuno yang mirip dengan huruf di India dan Thailand. Tradisi baca tulis latin diperkenalkan pada abad ke-16 oleh penjelajah Portugis di belahan timur dan Belanda di bagian barat. Generasi penjelajah selanjutnya berubah menjadi penjajah yang membatasi pendidikan kepada priyayi yang membuat baca tulis menjadi kebiasaan kaum elit saja. Bagi masyarakat awam, sepanjang bisa membaca nota gadai maka cukuplah sudah. Akibatnya, seperti ditulis Nancy Florida dalam Reading the Unread in Traditional Javanesse Literature, sastra Jawa mempunyai citra klasik, adiluhung, tak ternoda, dan di luar jangkauan pembaca awam. Sampai sekarang buku dianggap sebagai sesuatu yang keramat yang hanya profesor atau pejabat saja yang bisa dan mempunyai otoritas menulis buku, bukan anak seorang petani seperti saya.
Suka Duka Menjadi Penulis
Penulis bekerja sendiri, tetapi tidak terisolasi dan kesepian. Menulis melibatkan orang lain, yakni menanggapi dan mengembangkan pernyataan penulis atau orang lain. Penulis membuat produk untuk orang lain, yakni pembaca. Penulis juga membutuhkan kontak dengan pelaku di bidang yang diminatinya. Selain sebagai sumber, pelaku dibidang tersebut juga pasar potensial bagi penulis. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis akan lebih baik kalau mempunyai teman diskusi, dan tempat meminta nasihat dan sumber inspirasi. Seorang teman yang mau membereskan komputer bermasalah dengan hanya imbalan makan siang akan sangat bermakna. Penulis mempunyai jam kerja yang panjang. Ini bisa berarti dedikasi dan atau keasyikan. Mau berprofesi penulis? Give a second thought!
Pada zaman sebelumnya, Zaman Pertengahan, hanya elit saja yang mempelajari seni dan sastra klasik. Ini seperti sastra Jawa yang hanya dipelajari kalangan keraton dan cerdik cendikia saja. Kebiasaan membaca masyarakat Eropa kemudian menimbulkan nafsu menjelajah ilmu pengetahuan, dan di antaranya adalah geografi. Ini yang memperkenalkan mereka dengan dunia baru yang membuat Eropa kaya raya sampai sekarang. Penggerak gerakan renaissans adalah humanisme, sebuah filosofi yang didasarkan pada gagasan bahwa manusia adalah mahluk rasional.
Humanisme menekankan kemuliaan dan menghargai kemampuan dan bakat individu di banyak bidang seperti olahraga, sastra dan ilmu pengetahuan.Gagasan yang berkembang selama zaman renaissans menjadi dasar bagi pemikir dan penulis di zaman pencerahan, yakni abad ke-18, zaman ketika pencapaian ilmiah mengemuka. Renaissans adalah tahap penting dalam membebaskan pikiran dari takhayul dan kesalahan yang ada di masyarakat Kristen selama Zaman Pertengahan.
Penulis juga mampu menangkap dinamika masyarakat. Perseteruan gereja dan kerajaan pada zaman renaissans misalnya mengilhami Niccolo Machiavelli menulis buku yang sangat terkenal, Il Principe (1532). Dalam bukunya ini Niccolo berpendapat bahwa seni memerintah ada pada ilmu pengetahuan bukannya pada prinsip agama. Dia memusatkan pada cara mempertahankan negara dengan sarana apapun selain the Bible. Dia bahkan menerima prinsip bahwa tujuan menghalalkan segala cara/sarana, kalimat yang banyak dikutip di mana-mana.
Menurut hemat saya, buku juga dapat berperan penting dalam membangun bangsa. Selain sarana belajar atau menyerap informasi, buku paling baik. Buku mendorong pembacanya aktif. Agar dapat memahami, mengingat atau mengembangkan bacaan, pembaca harus mampu berkomunikasi dua arah dengan bacaan. Caranya adalah dengan membuat catatan pinggir, memberikan komentar atas isi bacaan di sisi atas dan juga membuat jurnal bacaan. Sebaliknya, belajar melalui radio dan televisi akan mendorong orang cenderung pasif. Karena sifatnya sekali dan hilang maka proses komunikasi cenderung searah. Saya setuju dengan pendapat umum bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan masyarakat Indonesia adalah belum adanya tradisi baca dan tulis.
Di Indonesia, budaya baca tulis dimulai sekitar abad ke-11, atau tepatnya tahun 1030 ketika Mpu Panuluh menulis naskah Arjuna Wiwaha dengan huruf Jawa Kuno yang mirip dengan huruf di India dan Thailand. Tradisi baca tulis latin diperkenalkan pada abad ke-16 oleh penjelajah Portugis di belahan timur dan Belanda di bagian barat. Generasi penjelajah selanjutnya berubah menjadi penjajah yang membatasi pendidikan kepada priyayi yang membuat baca tulis menjadi kebiasaan kaum elit saja. Bagi masyarakat awam, sepanjang bisa membaca nota gadai maka cukuplah sudah. Akibatnya, seperti ditulis Nancy Florida dalam Reading the Unread in Traditional Javanesse Literature, sastra Jawa mempunyai citra klasik, adiluhung, tak ternoda, dan di luar jangkauan pembaca awam. Sampai sekarang buku dianggap sebagai sesuatu yang keramat yang hanya profesor atau pejabat saja yang bisa dan mempunyai otoritas menulis buku, bukan anak seorang petani seperti saya.
Suka Duka Menjadi Penulis
Penulis bekerja sendiri, tetapi tidak terisolasi dan kesepian. Menulis melibatkan orang lain, yakni menanggapi dan mengembangkan pernyataan penulis atau orang lain. Penulis membuat produk untuk orang lain, yakni pembaca. Penulis juga membutuhkan kontak dengan pelaku di bidang yang diminatinya. Selain sebagai sumber, pelaku dibidang tersebut juga pasar potensial bagi penulis. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis akan lebih baik kalau mempunyai teman diskusi, dan tempat meminta nasihat dan sumber inspirasi. Seorang teman yang mau membereskan komputer bermasalah dengan hanya imbalan makan siang akan sangat bermakna. Penulis mempunyai jam kerja yang panjang. Ini bisa berarti dedikasi dan atau keasyikan. Mau berprofesi penulis? Give a second thought!
Oleh: Jaka Eko Cahyono
Majalah MataBaca
Loading...
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari" (Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia).
Membaca dan merenung. Itu yang saya tulis dalam kolom hobi di buku kenangan SMA. Suratan takdir kemudian membawa saya menjadi penulis, profesi yang berkaitan dengan membaca dan merenung. Saya berani mengklaim diri sebagai penulis karena sesuai dengan definisi profesi yakni pekerjaan yang daripadanya orang memperoleh penghasilan dan untuk melakukannya memerlukan keahlian. Saya suka memasak di rumah tetapi tidak dapat menamakan diri chef. Saya suka menyanyikan lagu-lagu karya A. Riyanto atau Rinto Harahap di kamar mandi, tetapi saya tidak bisa mengklaim diri sebagai penyanyi. Karena dari dua pekerjaan tersebut saya tidak memperoleh penghasilan. Selain itu, sudah lima buku saya diterbitkan dan lumayan laku di pasaran. Saya juga menerjemahkan lima buku dan menulis artikel di media massa, baik di dalam maupun luar negeri. Saya ingin juga menulis novel.
Apa hubungan membaca dan merenung dengan menulis? Semua penulis buku memerlukan bacaan untuk latar belakang, bahan pembanding atau pendukung gagasan. Barangkali satu kekecualian adalah Sir Charles Darwin yang konon menulis buku The Origin of Species by Means of Natural Selections (1859) dari pengamatannya selama berlayar ke berbagai penjuru dunia. Di autobiografinya, Darwin mengatakan sedikit belajar dari buku meskipun kuliah di Cambridge University.
Seberapa besar pengaruh merenung dalam menulis buku? Charles Bazerman dalam bukunya The Informed Writer (1985) menulis bahwa jika orang menelan bacaan tanpa pemikiran, ia hanya akan menerima frase kosong. Ia bisa menirukan frase tersebut dalam ujian atau paling banter mampu mengatakan sesuatu yang baru. Perenungan mempengaruhi perilaku pembaca dan bisa menciptakan sesuatu yang baru.
Menulis Itu Sulit
Arswendo Atmowiloto pernah menulis buku berjudul Mengarang Itu Gampang. Sayangnya, pengalaman saya membantah klaim tersebut. Berprofesi sebagai penulis tidak mudah dari segi teknis, ekonomi, sosial, dan bahkan politik.
Dari segi teknis, ada anggapan bahwa masalah seorang penulis adalah mengisi halaman kosong: mencari kalimat pembuka dan yang lain akan mengalir. Anggapan ini lebih banyak salah daripada benarnya.
Dalam praktik, semua penulis saya kira mempunyai tujuan tertentu yang untuk mencapainya perlu rencana, strategi dan teknik. Setelah membuat rencana dan menetapkan strategi penulisan, penulis harus bisa menemukan bahan tulisan, apakah berupa dokumen hukum, buku, artikel, data statistik, maupun referensi ilmiah. Agar tulisan menarik, penulis harus mencari lelucon, kutipan atau hasil observasi langsung. Setelah bahan terkumpul, penulis harus mencari bahan dan memilih bahasa dan nada yang diperkirakan pas bagi calon pembaca. Penulis harus terampil dalam menggunakan teknik paraphrasing (mereproduksi bacaan dengan bahasa sendiri), summarizing (meringkas isi bacaan), menggunakan kutipan langsung atau tidak langsung. Penulis harus memilih apakah menggunakan struktur kalimat pendek atau panjang, sederhana atau majemuk, menggunakan kata umum atau istilah teknis.
Dari segi sosial, saya pernah ditanya anak yang baru berusia lima tahun, "Di mana kantor Bapak?" Tetangga ingin tahu bagaimana saya dapat uang padahal jarang ke luar rumah. Kerabat lebih tenang dan bangga kalau saya bekerja di perusahaan yang lebih pasti. Bahkan kalangan profesional kurang menghargai profesi ini. Pernah sebuah biro iklan memberi job membuat tulisan dalam bahasa Inggris. Dengan niat baik, pekerjaan tersebut saya lakukan meskipun belum ada kontrak. Tetapi di seperempat jalan, karena alasan yang tidak jelas, kontrak diputus dengan alasan klien mencari penulis bule. Saya tidak tahu ini cerminan inferior complex atau ketidaktahuan staf di biro iklan atau kliennya. Tidak ada jaminan orang expatriat dapat menulis dalam bahasa Inggris lebih baik, seperti tidak semua orang Indonesia dapat menulis dengan baik dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya, kalau bule tersebut dapat menuliskannya dengan baik tentu mereka akan kompetitif berkarir di negeri asalnya.
Dari segi ekonomi, ketika membaca buku masih dianggap sebagai hobi, maka peluang menulis untuk sukses secara ekonomi sangat kecil. Dengan standar royalti 10% dari harga jual dan sekali cetak hanya 3.000 eksemplar, maka penghasilan penulis buku sangat tidak memadai. Berdasarkan pengalaman, kalau buku dicetak ulang dua kali maka hasilnya hanya setara dengan biaya produksi dan biaya hidup sederhana selama menulis buku tersebut. Biaya itu untuk membeli buku referensi, koran, majalah, fotokopi data di perpustakaan, dan tinta. Menulis artikel tidak cucuk, alias hasilnya tidak sebanding dengan usaha seperti membaca, meriset dan berpikir. Saya menerima honor US$ 200 untuk sebuah artikel 1.000 kata dari media asing. Di media lokal, artikel dengan jumlah kata yang sama honornya antara Rp. 75.000 sampai Rp. 300.000. Akibatnya, bukannya bertambah, tabungan penulis menyusut selama lima tahun berprofesi sebagai penulis. Ada satu ironi lagi bagi penulis, seperti dilaporkan di jurnal mahasiswa UGM Balairung edisi 34 / XVI / 2001, banyak penulis yang dinakali penerbitnya yang ujung-ujungnya penulis menerima royalti lebih rendah dari seharusnya. Ini menegaskan anggapan bahwa penulis tidak cukup diperhitungkan dalam dunia penerbitan.
Secara legal hak cipta penulis kurang dilindungi seperti terbukti dengan keluhan banyak pengarang yang bukunya dibajak. Saya sering berkhayal suatu ketika hak cipta penulis dihormati sebagaimana di Amerika Serikat (AS). Sekitar dua tahun lalu, Pengadilan Tinggi AS memenangkan Jerry Greenberg, fotografer lepas yang menggugat penerbit digital, the National Geographic Society (NGS) untuk memberi kompensasi baru atas fotonya yang semula terbit di majalah National Geography dan kemudian dimuat di CD-ROM produksi NGS. Menurut Jerry, foto dalam CD-ROM harus diberi kompensasi baru karena mempunyai musik, iklan baru dan item lain yang tidak ada dalam terbitan cetak. Pengelola National Geography yang terbit sejak 1888, berpendapat bahwa CD-ROM tidak mengubah isi, format atau penampilan foto tersebut. Kemenangan Jerry adalah kemenangan kedua atas tuntutan hak cipta profesional lepas. Kasus ini mengikuti keputusan atas kasus Tasini melawan The New York Times yang mengatakan bahwa penerbit yang mereproduksi secara digital artikel tanpa izin, atau memberi kompensasi baru kepada pengarang dinyatakan melanggar hak cipta. Hakim dalam kasus Tasini berpendapat bahwa reproduksi artikel ke dalam mikrofilm diizinkan di bawah UU Hak Cipta AS karena artikel tersebut tampak sama persis seperti dalam cetak. Tetapi artikel di situs jejaring dipandang sebagai sebuah produk yang berbeda.
Berbagai uraian di atas kiranya cukup menjelaskan mengapa tidak banyak orang mau berprofesi penulis. Suatu ketika saya bertanya kepada editor saya di Elex Media, yang menerbitkan tiga buku saya, apakah ada pengarang yang berprofesi sebagai penulis seperti saya. Jawabannya: kelihatannya tidak ada.
Secara politik, jika Anda belajar sejarah Eropa, tempat lahirnya isme-isme yang berkembang saat ini, Anda akan mengetahui bahwa penulis adalah profesi beresiko. Pada zaman renaissans banyak penulis menjadi musuh kerajaan atau gereja. Karya mereka disensor atau dibredel dan banyak penulis yang dipenjara. Di Indonesia kita haras mencuri-curi agar bisa membaca novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar. Saya membaca beberapa novelnya di perpustakaan kebudayaan UGM yang dipimpin almarhum Umar Kayam semasa kuliah. Pramoedya seperti kita tahu mendekam selama belasan tahun karena profesinya.
Perjalanan Menjadi Penulis
Ketika masih menjadi wartawan, saya ingin menulis buku. Toh jenis pekerjaannya sama: membaca, mengumpulkan data dan menulis. Tetapi faktanya sulit. Jangankan menulis buku, membaca buku saja sering harus dilakukan dalam bis kota atau ketika menunggu narasumber atau event yang diliput. Ketika dorongan menulis buku semakin kuat, penulis memutuskan untuk keluar dari profesi wartawan dan menjadi penulis profesional pada 1998. Untuk modal, saya membeli komputer lengkap dengan modem, mesin faksimili, perekam (untuk menangkap gagasan yang muncul saat tidak dalam posisi bagus untuk menuliskan), dan kamera. Saya memusatkan perhatian pada masalah keuangan pribadi (personal finance) karena tiga alasan.
Membaca dan merenung. Itu yang saya tulis dalam kolom hobi di buku kenangan SMA. Suratan takdir kemudian membawa saya menjadi penulis, profesi yang berkaitan dengan membaca dan merenung. Saya berani mengklaim diri sebagai penulis karena sesuai dengan definisi profesi yakni pekerjaan yang daripadanya orang memperoleh penghasilan dan untuk melakukannya memerlukan keahlian. Saya suka memasak di rumah tetapi tidak dapat menamakan diri chef. Saya suka menyanyikan lagu-lagu karya A. Riyanto atau Rinto Harahap di kamar mandi, tetapi saya tidak bisa mengklaim diri sebagai penyanyi. Karena dari dua pekerjaan tersebut saya tidak memperoleh penghasilan. Selain itu, sudah lima buku saya diterbitkan dan lumayan laku di pasaran. Saya juga menerjemahkan lima buku dan menulis artikel di media massa, baik di dalam maupun luar negeri. Saya ingin juga menulis novel.
Apa hubungan membaca dan merenung dengan menulis? Semua penulis buku memerlukan bacaan untuk latar belakang, bahan pembanding atau pendukung gagasan. Barangkali satu kekecualian adalah Sir Charles Darwin yang konon menulis buku The Origin of Species by Means of Natural Selections (1859) dari pengamatannya selama berlayar ke berbagai penjuru dunia. Di autobiografinya, Darwin mengatakan sedikit belajar dari buku meskipun kuliah di Cambridge University.
Seberapa besar pengaruh merenung dalam menulis buku? Charles Bazerman dalam bukunya The Informed Writer (1985) menulis bahwa jika orang menelan bacaan tanpa pemikiran, ia hanya akan menerima frase kosong. Ia bisa menirukan frase tersebut dalam ujian atau paling banter mampu mengatakan sesuatu yang baru. Perenungan mempengaruhi perilaku pembaca dan bisa menciptakan sesuatu yang baru.
Menulis Itu Sulit
Arswendo Atmowiloto pernah menulis buku berjudul Mengarang Itu Gampang. Sayangnya, pengalaman saya membantah klaim tersebut. Berprofesi sebagai penulis tidak mudah dari segi teknis, ekonomi, sosial, dan bahkan politik.
Dari segi teknis, ada anggapan bahwa masalah seorang penulis adalah mengisi halaman kosong: mencari kalimat pembuka dan yang lain akan mengalir. Anggapan ini lebih banyak salah daripada benarnya.
Dalam praktik, semua penulis saya kira mempunyai tujuan tertentu yang untuk mencapainya perlu rencana, strategi dan teknik. Setelah membuat rencana dan menetapkan strategi penulisan, penulis harus bisa menemukan bahan tulisan, apakah berupa dokumen hukum, buku, artikel, data statistik, maupun referensi ilmiah. Agar tulisan menarik, penulis harus mencari lelucon, kutipan atau hasil observasi langsung. Setelah bahan terkumpul, penulis harus mencari bahan dan memilih bahasa dan nada yang diperkirakan pas bagi calon pembaca. Penulis harus terampil dalam menggunakan teknik paraphrasing (mereproduksi bacaan dengan bahasa sendiri), summarizing (meringkas isi bacaan), menggunakan kutipan langsung atau tidak langsung. Penulis harus memilih apakah menggunakan struktur kalimat pendek atau panjang, sederhana atau majemuk, menggunakan kata umum atau istilah teknis.
Dari segi sosial, saya pernah ditanya anak yang baru berusia lima tahun, "Di mana kantor Bapak?" Tetangga ingin tahu bagaimana saya dapat uang padahal jarang ke luar rumah. Kerabat lebih tenang dan bangga kalau saya bekerja di perusahaan yang lebih pasti. Bahkan kalangan profesional kurang menghargai profesi ini. Pernah sebuah biro iklan memberi job membuat tulisan dalam bahasa Inggris. Dengan niat baik, pekerjaan tersebut saya lakukan meskipun belum ada kontrak. Tetapi di seperempat jalan, karena alasan yang tidak jelas, kontrak diputus dengan alasan klien mencari penulis bule. Saya tidak tahu ini cerminan inferior complex atau ketidaktahuan staf di biro iklan atau kliennya. Tidak ada jaminan orang expatriat dapat menulis dalam bahasa Inggris lebih baik, seperti tidak semua orang Indonesia dapat menulis dengan baik dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya, kalau bule tersebut dapat menuliskannya dengan baik tentu mereka akan kompetitif berkarir di negeri asalnya.
Dari segi ekonomi, ketika membaca buku masih dianggap sebagai hobi, maka peluang menulis untuk sukses secara ekonomi sangat kecil. Dengan standar royalti 10% dari harga jual dan sekali cetak hanya 3.000 eksemplar, maka penghasilan penulis buku sangat tidak memadai. Berdasarkan pengalaman, kalau buku dicetak ulang dua kali maka hasilnya hanya setara dengan biaya produksi dan biaya hidup sederhana selama menulis buku tersebut. Biaya itu untuk membeli buku referensi, koran, majalah, fotokopi data di perpustakaan, dan tinta. Menulis artikel tidak cucuk, alias hasilnya tidak sebanding dengan usaha seperti membaca, meriset dan berpikir. Saya menerima honor US$ 200 untuk sebuah artikel 1.000 kata dari media asing. Di media lokal, artikel dengan jumlah kata yang sama honornya antara Rp. 75.000 sampai Rp. 300.000. Akibatnya, bukannya bertambah, tabungan penulis menyusut selama lima tahun berprofesi sebagai penulis. Ada satu ironi lagi bagi penulis, seperti dilaporkan di jurnal mahasiswa UGM Balairung edisi 34 / XVI / 2001, banyak penulis yang dinakali penerbitnya yang ujung-ujungnya penulis menerima royalti lebih rendah dari seharusnya. Ini menegaskan anggapan bahwa penulis tidak cukup diperhitungkan dalam dunia penerbitan.
Secara legal hak cipta penulis kurang dilindungi seperti terbukti dengan keluhan banyak pengarang yang bukunya dibajak. Saya sering berkhayal suatu ketika hak cipta penulis dihormati sebagaimana di Amerika Serikat (AS). Sekitar dua tahun lalu, Pengadilan Tinggi AS memenangkan Jerry Greenberg, fotografer lepas yang menggugat penerbit digital, the National Geographic Society (NGS) untuk memberi kompensasi baru atas fotonya yang semula terbit di majalah National Geography dan kemudian dimuat di CD-ROM produksi NGS. Menurut Jerry, foto dalam CD-ROM harus diberi kompensasi baru karena mempunyai musik, iklan baru dan item lain yang tidak ada dalam terbitan cetak. Pengelola National Geography yang terbit sejak 1888, berpendapat bahwa CD-ROM tidak mengubah isi, format atau penampilan foto tersebut. Kemenangan Jerry adalah kemenangan kedua atas tuntutan hak cipta profesional lepas. Kasus ini mengikuti keputusan atas kasus Tasini melawan The New York Times yang mengatakan bahwa penerbit yang mereproduksi secara digital artikel tanpa izin, atau memberi kompensasi baru kepada pengarang dinyatakan melanggar hak cipta. Hakim dalam kasus Tasini berpendapat bahwa reproduksi artikel ke dalam mikrofilm diizinkan di bawah UU Hak Cipta AS karena artikel tersebut tampak sama persis seperti dalam cetak. Tetapi artikel di situs jejaring dipandang sebagai sebuah produk yang berbeda.
Berbagai uraian di atas kiranya cukup menjelaskan mengapa tidak banyak orang mau berprofesi penulis. Suatu ketika saya bertanya kepada editor saya di Elex Media, yang menerbitkan tiga buku saya, apakah ada pengarang yang berprofesi sebagai penulis seperti saya. Jawabannya: kelihatannya tidak ada.
Secara politik, jika Anda belajar sejarah Eropa, tempat lahirnya isme-isme yang berkembang saat ini, Anda akan mengetahui bahwa penulis adalah profesi beresiko. Pada zaman renaissans banyak penulis menjadi musuh kerajaan atau gereja. Karya mereka disensor atau dibredel dan banyak penulis yang dipenjara. Di Indonesia kita haras mencuri-curi agar bisa membaca novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar. Saya membaca beberapa novelnya di perpustakaan kebudayaan UGM yang dipimpin almarhum Umar Kayam semasa kuliah. Pramoedya seperti kita tahu mendekam selama belasan tahun karena profesinya.
Perjalanan Menjadi Penulis
Ketika masih menjadi wartawan, saya ingin menulis buku. Toh jenis pekerjaannya sama: membaca, mengumpulkan data dan menulis. Tetapi faktanya sulit. Jangankan menulis buku, membaca buku saja sering harus dilakukan dalam bis kota atau ketika menunggu narasumber atau event yang diliput. Ketika dorongan menulis buku semakin kuat, penulis memutuskan untuk keluar dari profesi wartawan dan menjadi penulis profesional pada 1998. Untuk modal, saya membeli komputer lengkap dengan modem, mesin faksimili, perekam (untuk menangkap gagasan yang muncul saat tidak dalam posisi bagus untuk menuliskan), dan kamera. Saya memusatkan perhatian pada masalah keuangan pribadi (personal finance) karena tiga alasan.
Pertama, di Indonesia penulis bidang ini belum banyak. Kedua, saya mempunyai catatan dan kliping yang saya himpun selama tujuh tahun sebagai wartawan dan pengalaman menulis berita keuangan. Ketiga, saya pernah mengikuti berbagai pelatihan tentang keuangan dan sedikit ketrampilan membaca dan menulis dalam bahasa Inggris.
Sebelum membuat keputusan, saya berkonsultasi dengan beberapa wartawan senior yang umumnya memperingatkan bahwa penulis tidak bisa hidup. Salah satu alasan mengapa saya bersikukuh menjadi penulis adalah karena saya melihat potensi yang besar. Bagi saya, minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah adalah potensi bagi industri perbukuan. Di Indonesia ada ribuan media massa yang membutuhkan tulisan dari luar. Pada 1998, ketika ada boom perusahaan dotcom, berkembang frase content is king. Setiap situs jejaring, mesin pencari (search engine) atau pengecer online perlu isi segar dan bagus untuk menarik penjelajah datang lagi. Ternyata content di dunia maya bukan raja. Orang tidak mau membayar ketika mencari informasi di situs jejaring, sehingga banyak content provider dan perusahaan dotcom yang tumbang dan hanya segelintir seperti the Wall Street Journal, Consumer Reports, dan situs-situs porno- yang bertahan. Salah satu penyebabnya, pembaca harus membayar dulu sebelum mulai mengetahui materinya, yang seringkali hanyalah informasi dengan kualitas rendah.
Dari fakta ini saya khawatir jangan-jangan rendahnya oplah buku di Indonesia karena tidak memenuhi harapan pembaca umum. Ada beberapa penjelasan untuk ini. Pertama, prioritas atau komitmen pengarang buku bukan untuk kepentingan pembaca. Karena tujuannya bukan untuk pembaca, maka kualitasnya juga kurang sesuai. Bagaimanapun juga setiap buku ditulis dengan tujuan tertentu. Tujuan mengarahkan penulis untuk memusatkan pada fakta tertentu dan mengembangkan gagasan tertentu. Tujuan yang berbeda memunculkan pertanyaan berbeda bagi penulis. Contohnya adalah buku tentang Henry Ford. Selain biografi Henry Ford, tidak kurang ada 10 buku lain tentang Henry Ford karangan para penulis dengan tujuan berbeda. Biografi Ford melebih-lebihkan perannya dalam industri otomotif di AS demi keuntungan pribadi. Penulis manajemen mempelajari bagaimana Ford sukses berbisnis. Sejarawan menganalisa citra Ford sebagai legenda.
Sebelum membuat keputusan, saya berkonsultasi dengan beberapa wartawan senior yang umumnya memperingatkan bahwa penulis tidak bisa hidup. Salah satu alasan mengapa saya bersikukuh menjadi penulis adalah karena saya melihat potensi yang besar. Bagi saya, minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah adalah potensi bagi industri perbukuan. Di Indonesia ada ribuan media massa yang membutuhkan tulisan dari luar. Pada 1998, ketika ada boom perusahaan dotcom, berkembang frase content is king. Setiap situs jejaring, mesin pencari (search engine) atau pengecer online perlu isi segar dan bagus untuk menarik penjelajah datang lagi. Ternyata content di dunia maya bukan raja. Orang tidak mau membayar ketika mencari informasi di situs jejaring, sehingga banyak content provider dan perusahaan dotcom yang tumbang dan hanya segelintir seperti the Wall Street Journal, Consumer Reports, dan situs-situs porno- yang bertahan. Salah satu penyebabnya, pembaca harus membayar dulu sebelum mulai mengetahui materinya, yang seringkali hanyalah informasi dengan kualitas rendah.
Dari fakta ini saya khawatir jangan-jangan rendahnya oplah buku di Indonesia karena tidak memenuhi harapan pembaca umum. Ada beberapa penjelasan untuk ini. Pertama, prioritas atau komitmen pengarang buku bukan untuk kepentingan pembaca. Karena tujuannya bukan untuk pembaca, maka kualitasnya juga kurang sesuai. Bagaimanapun juga setiap buku ditulis dengan tujuan tertentu. Tujuan mengarahkan penulis untuk memusatkan pada fakta tertentu dan mengembangkan gagasan tertentu. Tujuan yang berbeda memunculkan pertanyaan berbeda bagi penulis. Contohnya adalah buku tentang Henry Ford. Selain biografi Henry Ford, tidak kurang ada 10 buku lain tentang Henry Ford karangan para penulis dengan tujuan berbeda. Biografi Ford melebih-lebihkan perannya dalam industri otomotif di AS demi keuntungan pribadi. Penulis manajemen mempelajari bagaimana Ford sukses berbisnis. Sejarawan menganalisa citra Ford sebagai legenda.
Kedua, kontrol kualitas penerbit kurang. Saya tahu ada beberapa konsultan, pejabat atau politisi yang mau tulisannya diterbitkan meskipun tidak menerima royalti. Bahkan ada di antara mereka ini membeli sendiri bukunya. Konon penerbit mau menerbitkan buku tersebut karena pembelian oleh si pengarang (author) nilainya lebih dari biaya produksi yang dikeluarkan oleh penerbit. Konsultan juga ada yang lebih senang menulis artikel di koran tanpa bayaran asal nama atau fotonya (atau keduanya) muncul di koran. Dari mana mereka memperoleh penghasilan? Dari bisnis utamanya, yakni menjadi konsultan. Dari sudut pandang lain, kalau mereka menulis apa yang mereka ketahui dan perlu diketahui pembaca, mereka pasti akan kehilangan bisnis konsultasinya. Tujuan pejabat dan politisi mengarang buku umumnya demi kepentingan politis atau mendukung pendapat atau kebijakan politik tertentu. Berdasarkan definisi, mereka ini bukan penulis.
Peran Penulis
Peran Penulis
Alasan lain saya ingin menjadi penulis adalah karena pengaruhnya yang besar pada pembaca dan masyarakat. Saya sering mengidentifikasikan diri dengan Agung Sedayu, tokoh dalam cerita fiksi Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja dan terinspirasi oleh tokoh-tokoh dalam tetralogi fiksi karya Pramoedya. Peran penulis bagi saya bahwa kemajuan Eropa ke level sekarang karena tradisi baca dan tulis yang bermula pada zaman renaissans, rangkaian pergerakan sastra dan budaya di abad 14, 15, dan 16 yang dimulai di Italia dan meluas ke seluruh penjuru Eropa. Pada waktu itu, penduduk lewat tulisan para penulis menghidupkan kembali nilai-nilai, seni dan sastra klasik dan menyebarkan ke semua kelas masyarakat. Perkembangan ini terjadi karena teknologi cetak.
Pada zaman sebelumnya, Zaman Pertengahan, hanya elit saja yang mempelajari seni dan sastra klasik. Ini seperti sastra Jawa yang hanya dipelajari kalangan keraton dan cerdik cendikia saja. Kebiasaan membaca masyarakat Eropa kemudian menimbulkan nafsu menjelajah ilmu pengetahuan, dan di antaranya adalah geografi. Ini yang memperkenalkan mereka dengan dunia baru yang membuat Eropa kaya raya sampai sekarang. Penggerak gerakan renaissans adalah humanisme, sebuah filosofi yang didasarkan pada gagasan bahwa manusia adalah mahluk rasional.
Humanisme menekankan kemuliaan dan menghargai kemampuan dan bakat individu di banyak bidang seperti olahraga, sastra dan ilmu pengetahuan.Gagasan yang berkembang selama zaman renaissans menjadi dasar bagi pemikir dan penulis di zaman pencerahan, yakni abad ke-18, zaman ketika pencapaian ilmiah mengemuka. Renaissans adalah tahap penting dalam membebaskan pikiran dari takhayul dan kesalahan yang ada di masyarakat Kristen selama Zaman Pertengahan.
Penulis juga mampu menangkap dinamika masyarakat. Perseteruan gereja dan kerajaan pada zaman renaissans misalnya mengilhami Niccolo Machiavelli menulis buku yang sangat terkenal, Il Principe (1532). Dalam bukunya ini Niccolo berpendapat bahwa seni memerintah ada pada ilmu pengetahuan bukannya pada prinsip agama. Dia memusatkan pada cara mempertahankan negara dengan sarana apapun selain the Bible. Dia bahkan menerima prinsip bahwa tujuan menghalalkan segala cara/sarana, kalimat yang banyak dikutip di mana-mana.
Menurut hemat saya, buku juga dapat berperan penting dalam membangun bangsa. Selain sarana belajar atau menyerap informasi, buku paling baik. Buku mendorong pembacanya aktif. Agar dapat memahami, mengingat atau mengembangkan bacaan, pembaca harus mampu berkomunikasi dua arah dengan bacaan. Caranya adalah dengan membuat catatan pinggir, memberikan komentar atas isi bacaan di sisi atas dan juga membuat jurnal bacaan. Sebaliknya, belajar melalui radio dan televisi akan mendorong orang cenderung pasif. Karena sifatnya sekali dan hilang maka proses komunikasi cenderung searah. Saya setuju dengan pendapat umum bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan masyarakat Indonesia adalah belum adanya tradisi baca dan tulis.
Di Indonesia, budaya baca tulis dimulai sekitar abad ke-11, atau tepatnya tahun 1030 ketika Mpu Panuluh menulis naskah Arjuna Wiwaha dengan huruf Jawa Kuno yang mirip dengan huruf di India dan Thailand. Tradisi baca tulis latin diperkenalkan pada abad ke-16 oleh penjelajah Portugis di belahan timur dan Belanda di bagian barat. Generasi penjelajah selanjutnya berubah menjadi penjajah yang membatasi pendidikan kepada priyayi yang membuat baca tulis menjadi kebiasaan kaum elit saja. Bagi masyarakat awam, sepanjang bisa membaca nota gadai maka cukuplah sudah. Akibatnya, seperti ditulis Nancy Florida dalam Reading the Unread in Traditional Javanesse Literature, sastra Jawa mempunyai citra klasik, adiluhung, tak ternoda, dan di luar jangkauan pembaca awam. Sampai sekarang buku dianggap sebagai sesuatu yang keramat yang hanya profesor atau pejabat saja yang bisa dan mempunyai otoritas menulis buku, bukan anak seorang petani seperti saya.
Suka Duka Menjadi Penulis
Penulis bekerja sendiri, tetapi tidak terisolasi dan kesepian. Menulis melibatkan orang lain, yakni menanggapi dan mengembangkan pernyataan penulis atau orang lain. Penulis membuat produk untuk orang lain, yakni pembaca. Penulis juga membutuhkan kontak dengan pelaku di bidang yang diminatinya. Selain sebagai sumber, pelaku dibidang tersebut juga pasar potensial bagi penulis. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis akan lebih baik kalau mempunyai teman diskusi, dan tempat meminta nasihat dan sumber inspirasi. Seorang teman yang mau membereskan komputer bermasalah dengan hanya imbalan makan siang akan sangat bermakna. Penulis mempunyai jam kerja yang panjang. Ini bisa berarti dedikasi dan atau keasyikan. Mau berprofesi penulis? Give a second thought!
Pada zaman sebelumnya, Zaman Pertengahan, hanya elit saja yang mempelajari seni dan sastra klasik. Ini seperti sastra Jawa yang hanya dipelajari kalangan keraton dan cerdik cendikia saja. Kebiasaan membaca masyarakat Eropa kemudian menimbulkan nafsu menjelajah ilmu pengetahuan, dan di antaranya adalah geografi. Ini yang memperkenalkan mereka dengan dunia baru yang membuat Eropa kaya raya sampai sekarang. Penggerak gerakan renaissans adalah humanisme, sebuah filosofi yang didasarkan pada gagasan bahwa manusia adalah mahluk rasional.
Humanisme menekankan kemuliaan dan menghargai kemampuan dan bakat individu di banyak bidang seperti olahraga, sastra dan ilmu pengetahuan.Gagasan yang berkembang selama zaman renaissans menjadi dasar bagi pemikir dan penulis di zaman pencerahan, yakni abad ke-18, zaman ketika pencapaian ilmiah mengemuka. Renaissans adalah tahap penting dalam membebaskan pikiran dari takhayul dan kesalahan yang ada di masyarakat Kristen selama Zaman Pertengahan.
Penulis juga mampu menangkap dinamika masyarakat. Perseteruan gereja dan kerajaan pada zaman renaissans misalnya mengilhami Niccolo Machiavelli menulis buku yang sangat terkenal, Il Principe (1532). Dalam bukunya ini Niccolo berpendapat bahwa seni memerintah ada pada ilmu pengetahuan bukannya pada prinsip agama. Dia memusatkan pada cara mempertahankan negara dengan sarana apapun selain the Bible. Dia bahkan menerima prinsip bahwa tujuan menghalalkan segala cara/sarana, kalimat yang banyak dikutip di mana-mana.
Menurut hemat saya, buku juga dapat berperan penting dalam membangun bangsa. Selain sarana belajar atau menyerap informasi, buku paling baik. Buku mendorong pembacanya aktif. Agar dapat memahami, mengingat atau mengembangkan bacaan, pembaca harus mampu berkomunikasi dua arah dengan bacaan. Caranya adalah dengan membuat catatan pinggir, memberikan komentar atas isi bacaan di sisi atas dan juga membuat jurnal bacaan. Sebaliknya, belajar melalui radio dan televisi akan mendorong orang cenderung pasif. Karena sifatnya sekali dan hilang maka proses komunikasi cenderung searah. Saya setuju dengan pendapat umum bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan masyarakat Indonesia adalah belum adanya tradisi baca dan tulis.
Di Indonesia, budaya baca tulis dimulai sekitar abad ke-11, atau tepatnya tahun 1030 ketika Mpu Panuluh menulis naskah Arjuna Wiwaha dengan huruf Jawa Kuno yang mirip dengan huruf di India dan Thailand. Tradisi baca tulis latin diperkenalkan pada abad ke-16 oleh penjelajah Portugis di belahan timur dan Belanda di bagian barat. Generasi penjelajah selanjutnya berubah menjadi penjajah yang membatasi pendidikan kepada priyayi yang membuat baca tulis menjadi kebiasaan kaum elit saja. Bagi masyarakat awam, sepanjang bisa membaca nota gadai maka cukuplah sudah. Akibatnya, seperti ditulis Nancy Florida dalam Reading the Unread in Traditional Javanesse Literature, sastra Jawa mempunyai citra klasik, adiluhung, tak ternoda, dan di luar jangkauan pembaca awam. Sampai sekarang buku dianggap sebagai sesuatu yang keramat yang hanya profesor atau pejabat saja yang bisa dan mempunyai otoritas menulis buku, bukan anak seorang petani seperti saya.
Suka Duka Menjadi Penulis
Penulis bekerja sendiri, tetapi tidak terisolasi dan kesepian. Menulis melibatkan orang lain, yakni menanggapi dan mengembangkan pernyataan penulis atau orang lain. Penulis membuat produk untuk orang lain, yakni pembaca. Penulis juga membutuhkan kontak dengan pelaku di bidang yang diminatinya. Selain sebagai sumber, pelaku dibidang tersebut juga pasar potensial bagi penulis. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis akan lebih baik kalau mempunyai teman diskusi, dan tempat meminta nasihat dan sumber inspirasi. Seorang teman yang mau membereskan komputer bermasalah dengan hanya imbalan makan siang akan sangat bermakna. Penulis mempunyai jam kerja yang panjang. Ini bisa berarti dedikasi dan atau keasyikan. Mau berprofesi penulis? Give a second thought!
Oleh: Jaka Eko Cahyono
Majalah MataBaca
Demikianlah Artikel Balada Seorang Penulis
Sekianlah artikel Balada Seorang Penulis kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Balada Seorang Penulis dengan alamat link https://gurupintarmengajar.blogspot.com/2017/02/balada-seorang-penulis_13.html
0 Response to "Balada Seorang Penulis"
Post a Comment