Loading...
Judul : MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN
link : MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN
MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga penulisan makalah kelompok ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702).
Dalam makalah ini dikaji keterkaitan antara udang windu sebagai biota, lingkungan sebagai media hidupnya, serta berbagai input lainnya terutama pakan. Judul yang diambil adalah: BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) BERWAWASAN LINGKUNGAN. Pertimbangan berdasarkan unsur-unsur filsafat uraian berikut adalah:
Tinjauan ontologis mencakup intensifikasi sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) di tambak yang dimulai sejak tiga dekade yang lalu, yang dari segi kausalitas adalah sangat menurunnya produksi udang windu yang terjadi pada satu dekade terakhir sebagai konsekuensi dari manajemen lingkungan, biota dan pakan yang kurang memperhatikan daya dukung lahan. Secara epistomologis, ditinjau penurunan kualitas air yang berlanjut dengan munculnya berbagai agen pembawa penyakit. Teleologi bahasan adalah untuk mengungkapkan suatu alternatif sistem budidaya udang windu yang berwawasan lingkungan dengan aksiologi produksi optimum, ekonomis, beresiko rendah dan lingkungan yang lestari.
Dengan demikian, aspek penting yang dibahas mencakup berbagai permasalahan yang sedang dihadapi dalam budidaya udang di tambak saat ini serta alternatif solusinya guna menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi pada aktivitas akuakultur di masa mendatang.
Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
1.3. Manfaat
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Sistem Budidaya
2.1.2. Biologi
2.1.3. Lingkungan
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
2.2. Pendekatan Masalah
III. APLIKASI TEKNOLOGI
3.1. Manajemen Biota
3.1.1. Udang
3.1.2. Penyakit
3.2. Manajemen Lingkungan
3.3. Manajemen Pakan
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
IV. KESIMPULAN
KEPUSTAKAAN
_____________________________________
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia. Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998). Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan. Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses-proses kehidupannya dengan baik. Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan menentukan pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin. Produksi akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya. Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang intensif pula. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak. Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan. Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang. Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang, serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).
1.3. Manfaat
Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Sistem Budidaya
Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif berkembang sangat pesat. Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun, bahkan di beberapa tempat dibabat habis. Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang. Dengan padat tebar yang tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang lebih banyak per satuan luas tambak akan menambah berat beban lingkungan. Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan mulai terlihat, pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang penyakit. Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia, nitrit, dan H2S). Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat terbawa arus ke laut lepas. Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak. Hal ini akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan. Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang. Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional (Gambar 1).
Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif, intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992). Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif) merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh petani dan perusahaan swasta. Sistem tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya. Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen.
Tabel 1. Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik Tipe Produksi
Ekstensif Semi-Intensif Intensif Ultra-Intensif
Produksi
(MT/ha/th.) <0.1 – 0.3 0.5 – 2.5 5 – 15 30 - 150
Tk. Tebar
(#/m2/tanam) 0.1 – 1.0 3 – 10 15 - 40 >100
Sumber Benih Alam Alam & Hatchery
(? Nursery) Hatchery
(Nursery) Hatchery
(Nursery)
Daya Dukung
(gr/m2) <25 25 – 150 250 – 1000 1500 - 4500
Pakan Alami
(Tanpa tambahan) Alami + Tambahan
(Tidak lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap/hampir
lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap
Konversi Pkn.
(kg pkn/kg ud.) 0 <1.0 – 1.5 1.5 – 2.0 >2.0
Tk. Ganti air
(%/hari) <5 <5 – 20 10 – 20 >100
Pompa Pasut & pompa Pompa Pompa Pompa
Aerasi &
aerator Ganti air
secara alami Ganti air Aerator dan
Injeksi O2 Aerator dan
Ganti air
Ukur. Kolam
(ha) >5 1 – 2 0.25 – 2 <0.25
Bentuk Kolam Tidak teratur Lebih teratur Seragam (Bj. Skr. atau segi empat) Seragam (Tangki/beton)
Survival Rate
(%) <60 60 – 80 80 – 90 80 - 90
Tanam/tahun 1 – 2 2 – 3 2.5 – 3 >3
Masalah
Penyakit Minimal Biasanya tidak jadi masalah Dapat serius Sangat serius
Poten. untung
(per kg ud.) Moderat Tinggi Rendah Sangat rendah
Poten. untung
(ha) Sangat rendah Moderat Tinggi Sangat tinggi
2.1.2. Biologi
Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal. Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock dan Moss, 1992). Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen. Oleh karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak. Sifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994).
a. Induk
Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di setiap daerah dipengaruhi oleh musim. Luasnya penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983). Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994). Produksi nauplii mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk.
Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’) menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992). Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya.
b. Penyakit
Berbagai penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic Ectodermal dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh virus. Untuk penyakit yang disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara ekonomi sangat besar. Kerugian karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono, 1999 dalam Rukyani, 2000).
2.1.3. Lingkungan
Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas. Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton sebagai pakan alami. Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen.
Suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait (Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar, 1984). Pada banyak kasus, keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao dan Murai, 1986).
Teknik yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien et al., 1989 dalam Chien, 1992). Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus, 1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976). Boyd (1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada pada kisaran 15-25‰.
Pengaruh pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3) pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992). Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992). Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987). Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang. Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
Nitrat dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton. Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988). Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan perairan. Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom. Rasio N:P yang tepat akan memunculkan pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992). Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan, bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
a. Pakan
Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau ‘food additives’. Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’). Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Infrormasi dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan.
a.1. Protein
Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang paling utama. Protein terdiri dari satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988). Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial, seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein, glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat, aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin. Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar di dalam tubuh.
a.2. Karbohidrat
Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut fungsinya (Sediaoetomo, 1991). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida, dan 3) polisakarida. Monosakarida merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa. Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa. Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan glikogen. Fungsi utama dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak. Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen.
Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis. Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b) ‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d) glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a) pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d) glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982).
a.3. Lemak
Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan asam lemak, baik secara aktual maupun potensial. Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol.
Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2) pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh secara langsung maupun tidak langsung. Hati merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh. Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1) oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida.
b. Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan (Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber energi utama. Hal ini dikarenakan protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith, 1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi 8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991). Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%. Sedangkan Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan yang masih baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972). Berbagai pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Menurut Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat.
Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR). FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen. Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg. Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan. Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan. Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun. Suatu nilai yang sangat fantastik!!.
2.2. Pendekatan Masalah
Untuk pertumbuhannya, udang memerlukan pakan. Pada budidaya intensif pakan diberikan secara berlebihan. Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik, serta pengelolaan pakan yang tepat. Kelayakan nutrisi dapat dilihat dari kelengkpan dan keseimbangan nutriennya, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sifat fisik pakan, pada umumnya dilihat dari stabilitas pakan, yaitu ketahanannya untuk tidak hancur, terurai, atau tercuci dalam air. Pengelolaan pakan meliputi penentuan jumlah, ukuran dan bentuk pakan, serta frekuensi, waktu, dan cara pemberian pakan.
Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang. Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan terjadinya deplisit oksigen. Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan.
Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit. Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’. Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3) manajemen pakan yang baik. Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.
III. APLIKASI TEKNOLOGI
Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur) tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
3.1. Manajemen Biota
3.1.1. Udang
Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL1 3-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam pergantian kulit (‘molting’) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang. Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (‘kuntet’) akan menghasilkan laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak.
Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan aklimatisasi. Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan serentak) diperlukan kondisi media optimal. Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya. Sebagai contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh. Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi tumbuh. Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada masing-masing fase. Dengan kondisi demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu.
Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik). Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya. Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik). Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan. Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi.
3.1.2. Penyakit
Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi. Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini, dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu. Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama. Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen. Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan.
Karena itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis). Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka 1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan. Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika tidak mempan.
Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.
3.2. Manajemen Lingkungan
Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui:
1. Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
a. Sistem filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi, alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik lainnya.
b. Sistem penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia terhadap polutan yang sama.
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa, 2000)
3. Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al., 1994)
4. Dengan cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000).
Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak, proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi. Pengelolaan kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak. Terdapat perbedaan yang substansial antara desain tambak intensif yang konvensional (sistem terbuka) (Gambar 1) dengan desain tambak yang tertutup (Gambar 2).
Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya. Air baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000). Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm. Kemudian air disalurkan ke petak tambak. Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama. Dengan sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan salinitas air tetap layak.
Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon. Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar 3).
1.1. Latar Belakang
Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia. Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998). Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan. Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses-proses kehidupannya dengan baik. Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan menentukan pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin. Produksi akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya. Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang intensif pula. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak. Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan. Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang. Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang, serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).
1.3. Manfaat
Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Sistem Budidaya
Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif berkembang sangat pesat. Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun, bahkan di beberapa tempat dibabat habis. Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang. Dengan padat tebar yang tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang lebih banyak per satuan luas tambak akan menambah berat beban lingkungan. Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan mulai terlihat, pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang penyakit. Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia, nitrit, dan H2S). Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat terbawa arus ke laut lepas. Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak. Hal ini akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan. Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang. Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional (Gambar 1).
Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif, intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992). Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif) merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh petani dan perusahaan swasta. Sistem tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya. Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen.
Tabel 1. Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik Tipe Produksi
Ekstensif Semi-Intensif Intensif Ultra-Intensif
Produksi
(MT/ha/th.) <0.1 – 0.3 0.5 – 2.5 5 – 15 30 - 150
Tk. Tebar
(#/m2/tanam) 0.1 – 1.0 3 – 10 15 - 40 >100
Sumber Benih Alam Alam & Hatchery
(? Nursery) Hatchery
(Nursery) Hatchery
(Nursery)
Daya Dukung
(gr/m2) <25 25 – 150 250 – 1000 1500 - 4500
Pakan Alami
(Tanpa tambahan) Alami + Tambahan
(Tidak lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap/hampir
lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap
Konversi Pkn.
(kg pkn/kg ud.) 0 <1.0 – 1.5 1.5 – 2.0 >2.0
Tk. Ganti air
(%/hari) <5 <5 – 20 10 – 20 >100
Pompa Pasut & pompa Pompa Pompa Pompa
Aerasi &
aerator Ganti air
secara alami Ganti air Aerator dan
Injeksi O2 Aerator dan
Ganti air
Ukur. Kolam
(ha) >5 1 – 2 0.25 – 2 <0.25
Bentuk Kolam Tidak teratur Lebih teratur Seragam (Bj. Skr. atau segi empat) Seragam (Tangki/beton)
Survival Rate
(%) <60 60 – 80 80 – 90 80 - 90
Tanam/tahun 1 – 2 2 – 3 2.5 – 3 >3
Masalah
Penyakit Minimal Biasanya tidak jadi masalah Dapat serius Sangat serius
Poten. untung
(per kg ud.) Moderat Tinggi Rendah Sangat rendah
Poten. untung
(ha) Sangat rendah Moderat Tinggi Sangat tinggi
2.1.2. Biologi
Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal. Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock dan Moss, 1992). Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen. Oleh karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak. Sifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994).
a. Induk
Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di setiap daerah dipengaruhi oleh musim. Luasnya penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983). Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994). Produksi nauplii mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk.
Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’) menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992). Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya.
b. Penyakit
Berbagai penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic Ectodermal dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh virus. Untuk penyakit yang disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara ekonomi sangat besar. Kerugian karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono, 1999 dalam Rukyani, 2000).
2.1.3. Lingkungan
Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas. Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton sebagai pakan alami. Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen.
Suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait (Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar, 1984). Pada banyak kasus, keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao dan Murai, 1986).
Teknik yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien et al., 1989 dalam Chien, 1992). Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus, 1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976). Boyd (1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada pada kisaran 15-25‰.
Pengaruh pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3) pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992). Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992). Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987). Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang. Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
Nitrat dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton. Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988). Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan perairan. Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom. Rasio N:P yang tepat akan memunculkan pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992). Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan, bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
a. Pakan
Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau ‘food additives’. Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’). Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Infrormasi dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan.
a.1. Protein
Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang paling utama. Protein terdiri dari satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988). Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial, seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein, glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat, aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin. Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar di dalam tubuh.
a.2. Karbohidrat
Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut fungsinya (Sediaoetomo, 1991). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida, dan 3) polisakarida. Monosakarida merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa. Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa. Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan glikogen. Fungsi utama dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak. Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen.
Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis. Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b) ‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d) glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a) pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d) glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982).
a.3. Lemak
Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan asam lemak, baik secara aktual maupun potensial. Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol.
Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2) pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh secara langsung maupun tidak langsung. Hati merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh. Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1) oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida.
b. Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan (Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber energi utama. Hal ini dikarenakan protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith, 1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi 8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991). Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%. Sedangkan Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan yang masih baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972). Berbagai pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Menurut Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat.
Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR). FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen. Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg. Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan. Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan. Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun. Suatu nilai yang sangat fantastik!!.
2.2. Pendekatan Masalah
Untuk pertumbuhannya, udang memerlukan pakan. Pada budidaya intensif pakan diberikan secara berlebihan. Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik, serta pengelolaan pakan yang tepat. Kelayakan nutrisi dapat dilihat dari kelengkpan dan keseimbangan nutriennya, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sifat fisik pakan, pada umumnya dilihat dari stabilitas pakan, yaitu ketahanannya untuk tidak hancur, terurai, atau tercuci dalam air. Pengelolaan pakan meliputi penentuan jumlah, ukuran dan bentuk pakan, serta frekuensi, waktu, dan cara pemberian pakan.
Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang. Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan terjadinya deplisit oksigen. Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan.
Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit. Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’. Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3) manajemen pakan yang baik. Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.
III. APLIKASI TEKNOLOGI
Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur) tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
3.1. Manajemen Biota
3.1.1. Udang
Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL1 3-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam pergantian kulit (‘molting’) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang. Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (‘kuntet’) akan menghasilkan laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak.
Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan aklimatisasi. Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan serentak) diperlukan kondisi media optimal. Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya. Sebagai contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh. Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi tumbuh. Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada masing-masing fase. Dengan kondisi demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu.
Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik). Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya. Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik). Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan. Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi.
3.1.2. Penyakit
Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi. Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini, dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu. Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama. Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen. Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan.
Karena itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis). Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka 1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan. Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika tidak mempan.
Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.
3.2. Manajemen Lingkungan
Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui:
1. Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
a. Sistem filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi, alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik lainnya.
b. Sistem penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia terhadap polutan yang sama.
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa, 2000)
3. Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al., 1994)
4. Dengan cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000).
Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak, proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi. Pengelolaan kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak. Terdapat perbedaan yang substansial antara desain tambak intensif yang konvensional (sistem terbuka) (Gambar 1) dengan desain tambak yang tertutup (Gambar 2).
Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya. Air baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000). Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm. Kemudian air disalurkan ke petak tambak. Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama. Dengan sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan salinitas air tetap layak.
Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon. Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar 3).
Untuk mendapatkan kondisi optimum dalam budidya udang perlu diperhatikan hal-hal berikut. Sebuah tambak harus memiliki kandungan oksigen minimal 3,5 mg/l untuk tambak tradisional dan minimal 4 mg/l untuk tambak intensif dan semi-intensif. Untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kelangsungan budidaya udang maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg udang.
2. Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3. Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15 ekor/m2 pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan tertinggi. Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4. Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm. Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
3.3. Manajemen Pakan
Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan mendorong nutritionists dan aquaculturists untuk membuat formulasi pakan yang ‘ramah’ atau berwawasan lingkungan, termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien. Terkait dengan masalah tersebut adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi (P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan. Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.
Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’ (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu sendiri.
Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987). Dalam penelitiannya, Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari protein pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat. Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran darah. Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan.
Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies udang penaeid belum diketahui sepenuhnya. Shiau (1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan. Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch, yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi. Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998).
Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu mampu memanfaatkpakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et al., 1994). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum.
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya pakan yang tinggi pula. Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999). Karena itu, peningkatan prosentase karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan maksimum sering dilakukan. Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial. Penambahan karbohidrat dilakukan sebagai bagian dari skema pemberian pakan. Pada kasus ini, penambahan substrat berkarbon menyebabkan ‘recycling’ dan meningkatkan penggunaan protein melalui penggunaan protein-protein mikroba. Pendekatan metode ini telah dirintis oleh Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur.
Percobaan ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial. Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat, penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999). Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada kisaran 40-60%.
Pendekatan ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang. Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa air dalam jumlah besar. Pendekatan ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam.
Dengan menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba. Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih lanjut. Bilamana protein mikrobial diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%. Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir.
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada ikan. Konsekuensinya adalah bahwa sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke dalam tubuh. Karbohidrat tercerna diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998; Banos et al., 1998). Insulin dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga meregulasi pertumbuhan. Ikan yang diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan. Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai salah satu hormon anabolik. Hormon pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target. Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF. Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF). Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis. Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan (‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’). Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien tercerna. Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein. Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis’.
Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’). Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang dipuasakan. Disimpulkan bahwa status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh. Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk mempertahankan kehidupan ikan. Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan (‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’).
IV. KESIMPULAN
Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari. Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.
KEPUSTAKAAN
Ahmad. T. and Mangampa, M., 2000. The use of mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120.
Alava, V.R. and Pascual, F.P., 1987. Carbohydrate requirements of P. monodon Fabricius juveniles. Aquaculture, 61: 211-217.
Alsted, N.S., 1991. Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of the diet. In: Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.). Nutritional Strategies & Aquaculture Waste. Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of Nutr. Sci., Univ. of Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 77-89.
Anderson, D.P., 1992. Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture. Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307.
Angka, S.L., 1997. Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
Anonimus, 1978. Manual on pond culture of penaeid shrimp. Asean National Coord. Agency of the Philippines.
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176: 227-235.
Bailey-Brock, J.H. and Moss, S.M., 1992. Penaeid taxonomy, biology and zoogeography. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28.
Basoeki, D.M., 2000. Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Banos, N., Baro, J., Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998. Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout. Regulatory Peptides, 77: 55-62.
Boyd, C.E., 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama, 482 p.
Brauge, C., Medale, F. and Corraze, G., 1994. Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater. Aquaculture, 123: 109-120.
Brett, J.R., 1979. Environmental factor and growth. In.: Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R. (Eds.). Fish Physiology. Vol. VIII. Bioenergeticts and growth. Acad. Press, London, pp.: 599-675.
Campbell, P.N. and Smith, A.D., 1982. Biochemistry illustrated. Churchill Livingstone, New York, 225 p.
Chen, T.P., 1976. Aquaculture practices in Taiwan. Page Bros Ltd., Norwich, 162 p.
Chen, J.-C. dan Wang, T.-C., 1990. Culture of tiger shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system. In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.). The second Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines, p.:77-80.
Chen, T.T., 2000. Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
Chien, Y.-H., 1992. Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture. In: Wyban J. (Ed.). Proceedings of the special session on shrimp farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A., p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988. Prinsip-prinsip ilmu gizi. Pusat Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
Cruz-Suarez, L.E., Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994. Effect of different carbohydrate sources on the growth of P. vannamei. Economical impact. Aquaculture, 123: 349-360.
Dall, W. and Smith, D.M., 1986. Oxygen consumption and ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus Haswell. Aquaculture, 55:23-33.
Deshimaru, O. and Shigeno, K., 1972. Introduction to the artificial diet for prawn, Penaeus indicus. Aquaculture, 1: 115-133.
Farbridge, K.J., Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992. Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 104: 157-174.
Fast, A.W., 1992. Penaeid growthout systems: An Overview. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354.
Gjedrem, T., 1983. Quantitative genetics of fish.
1. Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg udang.
2. Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3. Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15 ekor/m2 pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan tertinggi. Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4. Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm. Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
3.3. Manajemen Pakan
Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan mendorong nutritionists dan aquaculturists untuk membuat formulasi pakan yang ‘ramah’ atau berwawasan lingkungan, termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien. Terkait dengan masalah tersebut adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi (P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan. Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.
Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’ (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu sendiri.
Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987). Dalam penelitiannya, Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari protein pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat. Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran darah. Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan.
Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies udang penaeid belum diketahui sepenuhnya. Shiau (1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan. Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch, yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi. Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998).
Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu mampu memanfaatkpakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et al., 1994). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum.
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya pakan yang tinggi pula. Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999). Karena itu, peningkatan prosentase karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan maksimum sering dilakukan. Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial. Penambahan karbohidrat dilakukan sebagai bagian dari skema pemberian pakan. Pada kasus ini, penambahan substrat berkarbon menyebabkan ‘recycling’ dan meningkatkan penggunaan protein melalui penggunaan protein-protein mikroba. Pendekatan metode ini telah dirintis oleh Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur.
Percobaan ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial. Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat, penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999). Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada kisaran 40-60%.
Pendekatan ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang. Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa air dalam jumlah besar. Pendekatan ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam.
Dengan menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba. Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih lanjut. Bilamana protein mikrobial diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%. Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir.
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada ikan. Konsekuensinya adalah bahwa sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke dalam tubuh. Karbohidrat tercerna diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998; Banos et al., 1998). Insulin dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga meregulasi pertumbuhan. Ikan yang diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan. Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai salah satu hormon anabolik. Hormon pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target. Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF. Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF). Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis. Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan (‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’). Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien tercerna. Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein. Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis’.
Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’). Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang dipuasakan. Disimpulkan bahwa status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh. Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk mempertahankan kehidupan ikan. Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan (‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’).
IV. KESIMPULAN
Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari. Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.
KEPUSTAKAAN
Ahmad. T. and Mangampa, M., 2000. The use of mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120.
Alava, V.R. and Pascual, F.P., 1987. Carbohydrate requirements of P. monodon Fabricius juveniles. Aquaculture, 61: 211-217.
Alsted, N.S., 1991. Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of the diet. In: Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.). Nutritional Strategies & Aquaculture Waste. Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of Nutr. Sci., Univ. of Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 77-89.
Anderson, D.P., 1992. Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture. Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307.
Angka, S.L., 1997. Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
Anonimus, 1978. Manual on pond culture of penaeid shrimp. Asean National Coord. Agency of the Philippines.
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176: 227-235.
Bailey-Brock, J.H. and Moss, S.M., 1992. Penaeid taxonomy, biology and zoogeography. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28.
Basoeki, D.M., 2000. Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Banos, N., Baro, J., Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998. Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout. Regulatory Peptides, 77: 55-62.
Boyd, C.E., 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama, 482 p.
Brauge, C., Medale, F. and Corraze, G., 1994. Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater. Aquaculture, 123: 109-120.
Brett, J.R., 1979. Environmental factor and growth. In.: Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R. (Eds.). Fish Physiology. Vol. VIII. Bioenergeticts and growth. Acad. Press, London, pp.: 599-675.
Campbell, P.N. and Smith, A.D., 1982. Biochemistry illustrated. Churchill Livingstone, New York, 225 p.
Chen, T.P., 1976. Aquaculture practices in Taiwan. Page Bros Ltd., Norwich, 162 p.
Chen, J.-C. dan Wang, T.-C., 1990. Culture of tiger shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system. In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.). The second Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines, p.:77-80.
Chen, T.T., 2000. Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
Chien, Y.-H., 1992. Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture. In: Wyban J. (Ed.). Proceedings of the special session on shrimp farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A., p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988. Prinsip-prinsip ilmu gizi. Pusat Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
Cruz-Suarez, L.E., Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994. Effect of different carbohydrate sources on the growth of P. vannamei. Economical impact. Aquaculture, 123: 349-360.
Dall, W. and Smith, D.M., 1986. Oxygen consumption and ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus Haswell. Aquaculture, 55:23-33.
Deshimaru, O. and Shigeno, K., 1972. Introduction to the artificial diet for prawn, Penaeus indicus. Aquaculture, 1: 115-133.
Farbridge, K.J., Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992. Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 104: 157-174.
Fast, A.W., 1992. Penaeid growthout systems: An Overview. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354.
Gjedrem, T., 1983. Quantitative genetics of fish.
Loading...
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga penulisan makalah kelompok ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702).
Dalam makalah ini dikaji keterkaitan antara udang windu sebagai biota, lingkungan sebagai media hidupnya, serta berbagai input lainnya terutama pakan. Judul yang diambil adalah: BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) BERWAWASAN LINGKUNGAN. Pertimbangan berdasarkan unsur-unsur filsafat uraian berikut adalah:
Tinjauan ontologis mencakup intensifikasi sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) di tambak yang dimulai sejak tiga dekade yang lalu, yang dari segi kausalitas adalah sangat menurunnya produksi udang windu yang terjadi pada satu dekade terakhir sebagai konsekuensi dari manajemen lingkungan, biota dan pakan yang kurang memperhatikan daya dukung lahan. Secara epistomologis, ditinjau penurunan kualitas air yang berlanjut dengan munculnya berbagai agen pembawa penyakit. Teleologi bahasan adalah untuk mengungkapkan suatu alternatif sistem budidaya udang windu yang berwawasan lingkungan dengan aksiologi produksi optimum, ekonomis, beresiko rendah dan lingkungan yang lestari.
Dengan demikian, aspek penting yang dibahas mencakup berbagai permasalahan yang sedang dihadapi dalam budidaya udang di tambak saat ini serta alternatif solusinya guna menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi pada aktivitas akuakultur di masa mendatang.
Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
1.3. Manfaat
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Sistem Budidaya
2.1.2. Biologi
2.1.3. Lingkungan
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
2.2. Pendekatan Masalah
III. APLIKASI TEKNOLOGI
3.1. Manajemen Biota
3.1.1. Udang
3.1.2. Penyakit
3.2. Manajemen Lingkungan
3.3. Manajemen Pakan
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
IV. KESIMPULAN
KEPUSTAKAAN
_____________________________________
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia. Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998). Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan. Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses-proses kehidupannya dengan baik. Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan menentukan pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin. Produksi akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya. Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang intensif pula. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak. Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan. Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang. Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang, serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).
1.3. Manfaat
Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Sistem Budidaya
Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif berkembang sangat pesat. Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun, bahkan di beberapa tempat dibabat habis. Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang. Dengan padat tebar yang tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang lebih banyak per satuan luas tambak akan menambah berat beban lingkungan. Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan mulai terlihat, pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang penyakit. Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia, nitrit, dan H2S). Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat terbawa arus ke laut lepas. Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak. Hal ini akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan. Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang. Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional (Gambar 1).
Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif, intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992). Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif) merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh petani dan perusahaan swasta. Sistem tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya. Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen.
Tabel 1. Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik Tipe Produksi
Ekstensif Semi-Intensif Intensif Ultra-Intensif
Produksi
(MT/ha/th.) <0.1 – 0.3 0.5 – 2.5 5 – 15 30 - 150
Tk. Tebar
(#/m2/tanam) 0.1 – 1.0 3 – 10 15 - 40 >100
Sumber Benih Alam Alam & Hatchery
(? Nursery) Hatchery
(Nursery) Hatchery
(Nursery)
Daya Dukung
(gr/m2) <25 25 – 150 250 – 1000 1500 - 4500
Pakan Alami
(Tanpa tambahan) Alami + Tambahan
(Tidak lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap/hampir
lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap
Konversi Pkn.
(kg pkn/kg ud.) 0 <1.0 – 1.5 1.5 – 2.0 >2.0
Tk. Ganti air
(%/hari) <5 <5 – 20 10 – 20 >100
Pompa Pasut & pompa Pompa Pompa Pompa
Aerasi &
aerator Ganti air
secara alami Ganti air Aerator dan
Injeksi O2 Aerator dan
Ganti air
Ukur. Kolam
(ha) >5 1 – 2 0.25 – 2 <0.25
Bentuk Kolam Tidak teratur Lebih teratur Seragam (Bj. Skr. atau segi empat) Seragam (Tangki/beton)
Survival Rate
(%) <60 60 – 80 80 – 90 80 - 90
Tanam/tahun 1 – 2 2 – 3 2.5 – 3 >3
Masalah
Penyakit Minimal Biasanya tidak jadi masalah Dapat serius Sangat serius
Poten. untung
(per kg ud.) Moderat Tinggi Rendah Sangat rendah
Poten. untung
(ha) Sangat rendah Moderat Tinggi Sangat tinggi
2.1.2. Biologi
Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal. Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock dan Moss, 1992). Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen. Oleh karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak. Sifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994).
a. Induk
Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di setiap daerah dipengaruhi oleh musim. Luasnya penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983). Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994). Produksi nauplii mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk.
Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’) menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992). Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya.
b. Penyakit
Berbagai penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic Ectodermal dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh virus. Untuk penyakit yang disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara ekonomi sangat besar. Kerugian karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono, 1999 dalam Rukyani, 2000).
2.1.3. Lingkungan
Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas. Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton sebagai pakan alami. Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen.
Suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait (Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar, 1984). Pada banyak kasus, keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao dan Murai, 1986).
Teknik yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien et al., 1989 dalam Chien, 1992). Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus, 1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976). Boyd (1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada pada kisaran 15-25‰.
Pengaruh pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3) pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992). Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992). Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987). Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang. Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
Nitrat dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton. Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988). Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan perairan. Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom. Rasio N:P yang tepat akan memunculkan pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992). Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan, bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
a. Pakan
Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau ‘food additives’. Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’). Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Infrormasi dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan.
a.1. Protein
Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang paling utama. Protein terdiri dari satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988). Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial, seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein, glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat, aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin. Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar di dalam tubuh.
a.2. Karbohidrat
Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut fungsinya (Sediaoetomo, 1991). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida, dan 3) polisakarida. Monosakarida merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa. Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa. Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan glikogen. Fungsi utama dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak. Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen.
Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis. Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b) ‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d) glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a) pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d) glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982).
a.3. Lemak
Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan asam lemak, baik secara aktual maupun potensial. Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol.
Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2) pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh secara langsung maupun tidak langsung. Hati merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh. Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1) oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida.
b. Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan (Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber energi utama. Hal ini dikarenakan protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith, 1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi 8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991). Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%. Sedangkan Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan yang masih baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972). Berbagai pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Menurut Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat.
Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR). FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen. Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg. Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan. Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan. Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun. Suatu nilai yang sangat fantastik!!.
2.2. Pendekatan Masalah
Untuk pertumbuhannya, udang memerlukan pakan. Pada budidaya intensif pakan diberikan secara berlebihan. Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik, serta pengelolaan pakan yang tepat. Kelayakan nutrisi dapat dilihat dari kelengkpan dan keseimbangan nutriennya, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sifat fisik pakan, pada umumnya dilihat dari stabilitas pakan, yaitu ketahanannya untuk tidak hancur, terurai, atau tercuci dalam air. Pengelolaan pakan meliputi penentuan jumlah, ukuran dan bentuk pakan, serta frekuensi, waktu, dan cara pemberian pakan.
Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang. Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan terjadinya deplisit oksigen. Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan.
Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit. Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’. Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3) manajemen pakan yang baik. Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.
III. APLIKASI TEKNOLOGI
Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur) tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
3.1. Manajemen Biota
3.1.1. Udang
Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL1 3-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam pergantian kulit (‘molting’) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang. Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (‘kuntet’) akan menghasilkan laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak.
Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan aklimatisasi. Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan serentak) diperlukan kondisi media optimal. Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya. Sebagai contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh. Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi tumbuh. Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada masing-masing fase. Dengan kondisi demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu.
Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik). Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya. Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik). Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan. Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi.
3.1.2. Penyakit
Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi. Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini, dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu. Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama. Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen. Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan.
Karena itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis). Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka 1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan. Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika tidak mempan.
Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.
3.2. Manajemen Lingkungan
Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui:
1. Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
a. Sistem filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi, alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik lainnya.
b. Sistem penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia terhadap polutan yang sama.
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa, 2000)
3. Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al., 1994)
4. Dengan cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000).
Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak, proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi. Pengelolaan kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak. Terdapat perbedaan yang substansial antara desain tambak intensif yang konvensional (sistem terbuka) (Gambar 1) dengan desain tambak yang tertutup (Gambar 2).
Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya. Air baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000). Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm. Kemudian air disalurkan ke petak tambak. Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama. Dengan sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan salinitas air tetap layak.
Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon. Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar 3).
1.1. Latar Belakang
Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia. Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998). Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan. Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses-proses kehidupannya dengan baik. Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan menentukan pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin. Produksi akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya. Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang intensif pula. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak. Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan. Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang. Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang, serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).
1.3. Manfaat
Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Sistem Budidaya
Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif berkembang sangat pesat. Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun, bahkan di beberapa tempat dibabat habis. Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang. Dengan padat tebar yang tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang lebih banyak per satuan luas tambak akan menambah berat beban lingkungan. Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan mulai terlihat, pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang penyakit. Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia, nitrit, dan H2S). Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat terbawa arus ke laut lepas. Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak. Hal ini akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan. Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang. Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional (Gambar 1).
Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif, intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992). Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif) merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh petani dan perusahaan swasta. Sistem tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya. Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen.
Tabel 1. Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik Tipe Produksi
Ekstensif Semi-Intensif Intensif Ultra-Intensif
Produksi
(MT/ha/th.) <0.1 – 0.3 0.5 – 2.5 5 – 15 30 - 150
Tk. Tebar
(#/m2/tanam) 0.1 – 1.0 3 – 10 15 - 40 >100
Sumber Benih Alam Alam & Hatchery
(? Nursery) Hatchery
(Nursery) Hatchery
(Nursery)
Daya Dukung
(gr/m2) <25 25 – 150 250 – 1000 1500 - 4500
Pakan Alami
(Tanpa tambahan) Alami + Tambahan
(Tidak lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap/hampir
lengkap) Pakan Buatan
(Lengkap
Konversi Pkn.
(kg pkn/kg ud.) 0 <1.0 – 1.5 1.5 – 2.0 >2.0
Tk. Ganti air
(%/hari) <5 <5 – 20 10 – 20 >100
Pompa Pasut & pompa Pompa Pompa Pompa
Aerasi &
aerator Ganti air
secara alami Ganti air Aerator dan
Injeksi O2 Aerator dan
Ganti air
Ukur. Kolam
(ha) >5 1 – 2 0.25 – 2 <0.25
Bentuk Kolam Tidak teratur Lebih teratur Seragam (Bj. Skr. atau segi empat) Seragam (Tangki/beton)
Survival Rate
(%) <60 60 – 80 80 – 90 80 - 90
Tanam/tahun 1 – 2 2 – 3 2.5 – 3 >3
Masalah
Penyakit Minimal Biasanya tidak jadi masalah Dapat serius Sangat serius
Poten. untung
(per kg ud.) Moderat Tinggi Rendah Sangat rendah
Poten. untung
(ha) Sangat rendah Moderat Tinggi Sangat tinggi
2.1.2. Biologi
Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal. Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock dan Moss, 1992). Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen. Oleh karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak. Sifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994).
a. Induk
Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di setiap daerah dipengaruhi oleh musim. Luasnya penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983). Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994). Produksi nauplii mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk.
Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’) menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992). Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya.
b. Penyakit
Berbagai penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic Ectodermal dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh virus. Untuk penyakit yang disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara ekonomi sangat besar. Kerugian karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono, 1999 dalam Rukyani, 2000).
2.1.3. Lingkungan
Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas. Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton sebagai pakan alami. Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen.
Suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait (Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar, 1984). Pada banyak kasus, keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao dan Murai, 1986).
Teknik yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien et al., 1989 dalam Chien, 1992). Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus, 1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976). Boyd (1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada pada kisaran 15-25‰.
Pengaruh pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3) pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992). Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992). Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987). Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang. Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
Nitrat dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton. Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988). Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan perairan. Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom. Rasio N:P yang tepat akan memunculkan pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992). Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan, bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
a. Pakan
Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau ‘food additives’. Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’). Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Infrormasi dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan.
a.1. Protein
Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang paling utama. Protein terdiri dari satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988). Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial, seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein, glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat, aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin. Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar di dalam tubuh.
a.2. Karbohidrat
Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut fungsinya (Sediaoetomo, 1991). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida, dan 3) polisakarida. Monosakarida merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa. Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa. Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan glikogen. Fungsi utama dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak. Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen.
Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis. Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b) ‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d) glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a) pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d) glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982).
a.3. Lemak
Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan asam lemak, baik secara aktual maupun potensial. Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol.
Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2) pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh secara langsung maupun tidak langsung. Hati merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh. Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1) oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida.
b. Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan (Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber energi utama. Hal ini dikarenakan protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith, 1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi 8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991). Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%. Sedangkan Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan yang masih baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972). Berbagai pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000). Menurut Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat.
Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR). FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen. Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg. Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan. Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan. Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun. Suatu nilai yang sangat fantastik!!.
2.2. Pendekatan Masalah
Untuk pertumbuhannya, udang memerlukan pakan. Pada budidaya intensif pakan diberikan secara berlebihan. Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik, serta pengelolaan pakan yang tepat. Kelayakan nutrisi dapat dilihat dari kelengkpan dan keseimbangan nutriennya, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sifat fisik pakan, pada umumnya dilihat dari stabilitas pakan, yaitu ketahanannya untuk tidak hancur, terurai, atau tercuci dalam air. Pengelolaan pakan meliputi penentuan jumlah, ukuran dan bentuk pakan, serta frekuensi, waktu, dan cara pemberian pakan.
Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang. Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan terjadinya deplisit oksigen. Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan.
Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit. Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’. Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3) manajemen pakan yang baik. Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.
III. APLIKASI TEKNOLOGI
Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur) tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
3.1. Manajemen Biota
3.1.1. Udang
Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL1 3-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam pergantian kulit (‘molting’) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang. Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (‘kuntet’) akan menghasilkan laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak.
Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan aklimatisasi. Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan serentak) diperlukan kondisi media optimal. Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya. Sebagai contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh. Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi tumbuh. Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada masing-masing fase. Dengan kondisi demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu.
Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik). Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya. Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik). Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan. Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi.
3.1.2. Penyakit
Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi. Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini, dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu. Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama. Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen. Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan.
Karena itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis). Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka 1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan. Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika tidak mempan.
Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.
3.2. Manajemen Lingkungan
Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui:
1. Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
a. Sistem filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi, alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik lainnya.
b. Sistem penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia terhadap polutan yang sama.
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa, 2000)
3. Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al., 1994)
4. Dengan cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000).
Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak, proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi. Pengelolaan kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak. Terdapat perbedaan yang substansial antara desain tambak intensif yang konvensional (sistem terbuka) (Gambar 1) dengan desain tambak yang tertutup (Gambar 2).
Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya. Air baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000). Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm. Kemudian air disalurkan ke petak tambak. Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama. Dengan sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan salinitas air tetap layak.
Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon. Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar 3).
Untuk mendapatkan kondisi optimum dalam budidya udang perlu diperhatikan hal-hal berikut. Sebuah tambak harus memiliki kandungan oksigen minimal 3,5 mg/l untuk tambak tradisional dan minimal 4 mg/l untuk tambak intensif dan semi-intensif. Untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kelangsungan budidaya udang maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg udang.
2. Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3. Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15 ekor/m2 pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan tertinggi. Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4. Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm. Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
3.3. Manajemen Pakan
Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan mendorong nutritionists dan aquaculturists untuk membuat formulasi pakan yang ‘ramah’ atau berwawasan lingkungan, termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien. Terkait dengan masalah tersebut adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi (P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan. Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.
Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’ (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu sendiri.
Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987). Dalam penelitiannya, Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari protein pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat. Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran darah. Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan.
Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies udang penaeid belum diketahui sepenuhnya. Shiau (1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan. Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch, yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi. Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998).
Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu mampu memanfaatkpakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et al., 1994). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum.
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya pakan yang tinggi pula. Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999). Karena itu, peningkatan prosentase karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan maksimum sering dilakukan. Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial. Penambahan karbohidrat dilakukan sebagai bagian dari skema pemberian pakan. Pada kasus ini, penambahan substrat berkarbon menyebabkan ‘recycling’ dan meningkatkan penggunaan protein melalui penggunaan protein-protein mikroba. Pendekatan metode ini telah dirintis oleh Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur.
Percobaan ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial. Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat, penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999). Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada kisaran 40-60%.
Pendekatan ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang. Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa air dalam jumlah besar. Pendekatan ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam.
Dengan menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba. Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih lanjut. Bilamana protein mikrobial diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%. Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir.
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada ikan. Konsekuensinya adalah bahwa sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke dalam tubuh. Karbohidrat tercerna diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998; Banos et al., 1998). Insulin dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga meregulasi pertumbuhan. Ikan yang diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan. Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai salah satu hormon anabolik. Hormon pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target. Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF. Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF). Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis. Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan (‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’). Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien tercerna. Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein. Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis’.
Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’). Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang dipuasakan. Disimpulkan bahwa status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh. Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk mempertahankan kehidupan ikan. Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan (‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’).
IV. KESIMPULAN
Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari. Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.
KEPUSTAKAAN
Ahmad. T. and Mangampa, M., 2000. The use of mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120.
Alava, V.R. and Pascual, F.P., 1987. Carbohydrate requirements of P. monodon Fabricius juveniles. Aquaculture, 61: 211-217.
Alsted, N.S., 1991. Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of the diet. In: Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.). Nutritional Strategies & Aquaculture Waste. Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of Nutr. Sci., Univ. of Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 77-89.
Anderson, D.P., 1992. Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture. Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307.
Angka, S.L., 1997. Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
Anonimus, 1978. Manual on pond culture of penaeid shrimp. Asean National Coord. Agency of the Philippines.
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176: 227-235.
Bailey-Brock, J.H. and Moss, S.M., 1992. Penaeid taxonomy, biology and zoogeography. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28.
Basoeki, D.M., 2000. Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Banos, N., Baro, J., Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998. Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout. Regulatory Peptides, 77: 55-62.
Boyd, C.E., 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama, 482 p.
Brauge, C., Medale, F. and Corraze, G., 1994. Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater. Aquaculture, 123: 109-120.
Brett, J.R., 1979. Environmental factor and growth. In.: Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R. (Eds.). Fish Physiology. Vol. VIII. Bioenergeticts and growth. Acad. Press, London, pp.: 599-675.
Campbell, P.N. and Smith, A.D., 1982. Biochemistry illustrated. Churchill Livingstone, New York, 225 p.
Chen, T.P., 1976. Aquaculture practices in Taiwan. Page Bros Ltd., Norwich, 162 p.
Chen, J.-C. dan Wang, T.-C., 1990. Culture of tiger shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system. In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.). The second Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines, p.:77-80.
Chen, T.T., 2000. Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
Chien, Y.-H., 1992. Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture. In: Wyban J. (Ed.). Proceedings of the special session on shrimp farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A., p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988. Prinsip-prinsip ilmu gizi. Pusat Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
Cruz-Suarez, L.E., Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994. Effect of different carbohydrate sources on the growth of P. vannamei. Economical impact. Aquaculture, 123: 349-360.
Dall, W. and Smith, D.M., 1986. Oxygen consumption and ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus Haswell. Aquaculture, 55:23-33.
Deshimaru, O. and Shigeno, K., 1972. Introduction to the artificial diet for prawn, Penaeus indicus. Aquaculture, 1: 115-133.
Farbridge, K.J., Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992. Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 104: 157-174.
Fast, A.W., 1992. Penaeid growthout systems: An Overview. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354.
Gjedrem, T., 1983. Quantitative genetics of fish.
1. Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg udang.
2. Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3. Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15 ekor/m2 pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan tertinggi. Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4. Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm. Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
3.3. Manajemen Pakan
Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan mendorong nutritionists dan aquaculturists untuk membuat formulasi pakan yang ‘ramah’ atau berwawasan lingkungan, termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien. Terkait dengan masalah tersebut adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi (P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan. Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.
Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’ (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu sendiri.
Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987). Dalam penelitiannya, Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari protein pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat. Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran darah. Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan.
Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies udang penaeid belum diketahui sepenuhnya. Shiau (1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan. Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch, yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi. Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998).
Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu mampu memanfaatkpakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et al., 1994). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum.
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya pakan yang tinggi pula. Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999). Karena itu, peningkatan prosentase karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan maksimum sering dilakukan. Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial. Penambahan karbohidrat dilakukan sebagai bagian dari skema pemberian pakan. Pada kasus ini, penambahan substrat berkarbon menyebabkan ‘recycling’ dan meningkatkan penggunaan protein melalui penggunaan protein-protein mikroba. Pendekatan metode ini telah dirintis oleh Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur.
Percobaan ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial. Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat, penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999). Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada kisaran 40-60%.
Pendekatan ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang. Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa air dalam jumlah besar. Pendekatan ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam.
Dengan menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba. Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih lanjut. Bilamana protein mikrobial diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%. Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir.
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada ikan. Konsekuensinya adalah bahwa sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke dalam tubuh. Karbohidrat tercerna diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998; Banos et al., 1998). Insulin dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga meregulasi pertumbuhan. Ikan yang diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan. Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai salah satu hormon anabolik. Hormon pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target. Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF. Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF). Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis. Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan (‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’). Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien tercerna. Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein. Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis’.
Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’). Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang dipuasakan. Disimpulkan bahwa status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh. Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk mempertahankan kehidupan ikan. Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan (‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’).
IV. KESIMPULAN
Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari. Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.
KEPUSTAKAAN
Ahmad. T. and Mangampa, M., 2000. The use of mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120.
Alava, V.R. and Pascual, F.P., 1987. Carbohydrate requirements of P. monodon Fabricius juveniles. Aquaculture, 61: 211-217.
Alsted, N.S., 1991. Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of the diet. In: Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.). Nutritional Strategies & Aquaculture Waste. Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of Nutr. Sci., Univ. of Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 77-89.
Anderson, D.P., 1992. Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture. Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307.
Angka, S.L., 1997. Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
Anonimus, 1978. Manual on pond culture of penaeid shrimp. Asean National Coord. Agency of the Philippines.
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176: 227-235.
Bailey-Brock, J.H. and Moss, S.M., 1992. Penaeid taxonomy, biology and zoogeography. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28.
Basoeki, D.M., 2000. Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Banos, N., Baro, J., Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998. Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout. Regulatory Peptides, 77: 55-62.
Boyd, C.E., 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama, 482 p.
Brauge, C., Medale, F. and Corraze, G., 1994. Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater. Aquaculture, 123: 109-120.
Brett, J.R., 1979. Environmental factor and growth. In.: Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R. (Eds.). Fish Physiology. Vol. VIII. Bioenergeticts and growth. Acad. Press, London, pp.: 599-675.
Campbell, P.N. and Smith, A.D., 1982. Biochemistry illustrated. Churchill Livingstone, New York, 225 p.
Chen, T.P., 1976. Aquaculture practices in Taiwan. Page Bros Ltd., Norwich, 162 p.
Chen, J.-C. dan Wang, T.-C., 1990. Culture of tiger shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system. In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.). The second Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines, p.:77-80.
Chen, T.T., 2000. Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L. (Ed.). International Symposium on Marine Biotechnology. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
Chien, Y.-H., 1992. Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture. In: Wyban J. (Ed.). Proceedings of the special session on shrimp farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A., p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988. Prinsip-prinsip ilmu gizi. Pusat Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
Cruz-Suarez, L.E., Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994. Effect of different carbohydrate sources on the growth of P. vannamei. Economical impact. Aquaculture, 123: 349-360.
Dall, W. and Smith, D.M., 1986. Oxygen consumption and ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus Haswell. Aquaculture, 55:23-33.
Deshimaru, O. and Shigeno, K., 1972. Introduction to the artificial diet for prawn, Penaeus indicus. Aquaculture, 1: 115-133.
Farbridge, K.J., Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992. Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 104: 157-174.
Fast, A.W., 1992. Penaeid growthout systems: An Overview. In.: Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354.
Gjedrem, T., 1983. Quantitative genetics of fish.
Demikianlah Artikel MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN
Sekianlah artikel MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN dengan alamat link https://gurupintarmengajar.blogspot.com/2017/02/makalah-tentang-budidaya-udang-windu.html
0 Response to "MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN"
Post a Comment