Loading...
Judul : Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah
link : Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah
Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah
Ia hafal dinginnya lantai penjara karena pemahamannya berbeda dengan otoritas mazhab penguasa, yaitu Asyariyah.
Ibnu Taimiyah dituduh berpaham mujassimah karena memahami sifat-sifat Allah dari term asli bahasa sesuai isi Al-Qur'an dan Hadits.
Tanpa mengilustrasikan, tanpa penyerupaan, tanpa pemisalan apapun pada sifat Allah.
Mujassimah adalah paham yang memahami Allah sebagaimana materi fisik, yang dianggap telah kufur oleh Asyariyah.
Sementara itu, kalangan Asyariyah memiliki konsep takwil dan tafwidh dalam menjabarkan cara memahami sifat-sifat Allah yang menurut mereka "berbahaya" jika menggunakan term aslinya.
Perseteruan klasik terkait akidah ini masih ditemukan hingga masa kini, terutama oleh kaum Aswaja tradisionalis yang menjaga doktrin-doktrin Asyariyah, dan 'Salafi Wahabi' yang meneruskan gagasan Syaikhul Islam.
Namun, menurut Ibnu Taimiyah, perselisihan paham semestinya tidak mengorbankan Islam. Terlebih, di masa itu dunia Islam tengah menghadapi berbagai cobaan genting.
Dari sisi pemikiran, berkembang sekte-sekte sesat (bid'ah mukafirah) dan pemikiran filsafat kufur. Dari sisi politik, pasukan Monggol masih mencoba menerobos bumi Syam dan sekitarnya.
Salah satu pengakuan Ibnu Taimiyah adalah usahanya mempersatukan antara Asyairah dan Hanabilah dalam bingkai persatuan Islam, menghindari perselisihan yang berujung pada pertikaian sehingga sangat besar kerugiannya.
Bahkan, di hadapan kelompok Hanabilah ia mengatakan bahwa Asyariyah dinisbahkan kepada mazhab Hanbali, sebagai ahli kalam yang paling dekat.
Itu terungkap dalam Majmu' Al-Fatawa jilid 3 hal. 227:
وَالنَّاسُ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ كَانَ بَيْنَ الْحَنْبَلِيَّةِ وَالْأَشْعَرِيَّةِ وَحْشَةٌ وَمُنَافَرَةٌ. وَأَنَا كُنْت مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ تَأْلِيفًا لِقُلُوبِ الْمُسْلِمِينَ وَطَلَبًا لِاتِّفَاقِ كَلِمَتِهِمْ وَاتِّبَاعًا لِمَا أُمِرْنَا بِهِ مِنْ الِاعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللَّهِ وَأَزَلْت عَامَّةَ مَا كَانَ فِي النُّفُوسِ مِنْ الْوَحْشَةِ وَبَيَّنْت لَهُمْ أَنَّ الْأَشْعَرِيَّ كَانَ مِنْ أَجَلِّ الْمُتَكَلِّمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ وَنَحْوِهِ الْمُنْتَصِرِينَ لِطَرِيقِهِ كَمَا يَذْكُرُ الْأَشْعَرِيُّ ذَلِكَ فِي كُتُبِهِ.
"Orang-orang tahu bahwa terjadi pertikaian sengit antara Hanbaliyyah dan Asyariyyah, dan saya adalah salah satu yang sangat berperan menyatukan hati kaum Muslimin dan menuntut kesamaan kalimat (diantara) mereka serta mematuhi perintah Allah agar berpegang pada tali agama-Nya. Saya juga menghilangkan kebencian di dalam jiwa dan saya terangkan kepada mereka bahwa Asyariyyah itu termasuk ahli kalam yang paling dekat penisbahannya kepada Imam Ahmad dan semisalnya serta sangat membela metode beliau sebagaimana yang diakui oleh al-Asyari sendiri dalam buku-bukunya"
Padahal, Ibnu Taimiyah sendiri sangat banyak mengkritik akidah Asyariyah. Tapi di lain sisi, ia tetap mengupayakan persatuan sesama Muslim, bekerja sama dalam hal penegakan agama Allah.
Di sini, Ibnu Taimiyah memuji Asyariyah di hadapan Hanabilah agar hanabilah tidak semakin benci kepada Asyariyah dan agar tercapai ta`liful qulub (ikatan bathin) diantara mereka.
Bahkan ia juga bertekad bersedia bekerja sama dengan Ibnu Makhluf, hakim yang telah menjebloskannya ke penjara karena menganggap sesatnya akidah Ibnu Taimiyah.
Dalam Majmu' Al Fatawa jilid 3 hal. 271 setelah mengkritik Ibnu Makhluf habis-habisan, Ibnu Taimiyah berkata:
وَابْنُ مَخْلُوفٍ لَوْ عَمِلَ مَهْمَا عَمِلَ وَاَللَّهِ مَا أَقْدِرُ عَلَى خَيْرٍ إلَّا وَأَعْمَلُهُ مَعَهُ وَلَا أُعِينُ عَلَيْهِ عَدُوَّهُ قَطُّ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ. هَذِهِ نِيَّتِي وَعَزْمِي، مَعَ عِلْمِي بِجَمِيعِ الْأُمُورِ. فَإِنِّي أَعْلَمُ أَنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَلَنْ أَكُونَ عَوْنًا لِلشَّيْطَانِ عَلَى إخْوَانِي الْمُسْلِمِينَ.
"Ibnu Makhluf ini, meski telah melakukan apa yang dia lakukan, maka tetap saja jika saya bisa lakukan kebaikan (maka) akan saya bantu dia dengan bekerja sama dan saya tidak akan menolong musuhnya untuk menjatuhkannya. Tiada kuasa dan daya kecuali dengan izin Allah. Inilah niat dan tekad saya dalam semua perkara, saya tahu bahwa setan mencabut persatuan sesama mukmin dan saya tidak mau menjadi penolong setan dalam melawan saudara saya sesama Muslim"
Ibnu Taimiyah ingin mencontohkan, bahwa apapun perbedaannya, bahkan perbedaan dalam masalah akidah tidak menghalangi untuk bekerja sama dalam kebaikan.
Dan hendaknya jangan menjadi penolong setan mengobarkan perpecahan dan permusuhan sesama Muslim, saling jegal tanpa solusi yang hanya bertujuan untuk saling benci.
Sebagai kelompok minoritas di masa itu, Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya menjadi garda terdepan bersama kaum Muslimin dan pemimpinnya yang Asyariyah, ketika berperang menahan ekspansi Mongol.
Oleh: Ustadz Anshari Taslim Lc.
Loading...
Ia hafal dinginnya lantai penjara karena pemahamannya berbeda dengan otoritas mazhab penguasa, yaitu Asyariyah.
Ibnu Taimiyah dituduh berpaham mujassimah karena memahami sifat-sifat Allah dari term asli bahasa sesuai isi Al-Qur'an dan Hadits.
Tanpa mengilustrasikan, tanpa penyerupaan, tanpa pemisalan apapun pada sifat Allah.
Mujassimah adalah paham yang memahami Allah sebagaimana materi fisik, yang dianggap telah kufur oleh Asyariyah.
Sementara itu, kalangan Asyariyah memiliki konsep takwil dan tafwidh dalam menjabarkan cara memahami sifat-sifat Allah yang menurut mereka "berbahaya" jika menggunakan term aslinya.
Perseteruan klasik terkait akidah ini masih ditemukan hingga masa kini, terutama oleh kaum Aswaja tradisionalis yang menjaga doktrin-doktrin Asyariyah, dan 'Salafi Wahabi' yang meneruskan gagasan Syaikhul Islam.
Namun, menurut Ibnu Taimiyah, perselisihan paham semestinya tidak mengorbankan Islam. Terlebih, di masa itu dunia Islam tengah menghadapi berbagai cobaan genting.
Dari sisi pemikiran, berkembang sekte-sekte sesat (bid'ah mukafirah) dan pemikiran filsafat kufur. Dari sisi politik, pasukan Monggol masih mencoba menerobos bumi Syam dan sekitarnya.
Salah satu pengakuan Ibnu Taimiyah adalah usahanya mempersatukan antara Asyairah dan Hanabilah dalam bingkai persatuan Islam, menghindari perselisihan yang berujung pada pertikaian sehingga sangat besar kerugiannya.
Bahkan, di hadapan kelompok Hanabilah ia mengatakan bahwa Asyariyah dinisbahkan kepada mazhab Hanbali, sebagai ahli kalam yang paling dekat.
Itu terungkap dalam Majmu' Al-Fatawa jilid 3 hal. 227:
وَالنَّاسُ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ كَانَ بَيْنَ الْحَنْبَلِيَّةِ وَالْأَشْعَرِيَّةِ وَحْشَةٌ وَمُنَافَرَةٌ. وَأَنَا كُنْت مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ تَأْلِيفًا لِقُلُوبِ الْمُسْلِمِينَ وَطَلَبًا لِاتِّفَاقِ كَلِمَتِهِمْ وَاتِّبَاعًا لِمَا أُمِرْنَا بِهِ مِنْ الِاعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللَّهِ وَأَزَلْت عَامَّةَ مَا كَانَ فِي النُّفُوسِ مِنْ الْوَحْشَةِ وَبَيَّنْت لَهُمْ أَنَّ الْأَشْعَرِيَّ كَانَ مِنْ أَجَلِّ الْمُتَكَلِّمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ وَنَحْوِهِ الْمُنْتَصِرِينَ لِطَرِيقِهِ كَمَا يَذْكُرُ الْأَشْعَرِيُّ ذَلِكَ فِي كُتُبِهِ.
"Orang-orang tahu bahwa terjadi pertikaian sengit antara Hanbaliyyah dan Asyariyyah, dan saya adalah salah satu yang sangat berperan menyatukan hati kaum Muslimin dan menuntut kesamaan kalimat (diantara) mereka serta mematuhi perintah Allah agar berpegang pada tali agama-Nya. Saya juga menghilangkan kebencian di dalam jiwa dan saya terangkan kepada mereka bahwa Asyariyyah itu termasuk ahli kalam yang paling dekat penisbahannya kepada Imam Ahmad dan semisalnya serta sangat membela metode beliau sebagaimana yang diakui oleh al-Asyari sendiri dalam buku-bukunya"
Padahal, Ibnu Taimiyah sendiri sangat banyak mengkritik akidah Asyariyah. Tapi di lain sisi, ia tetap mengupayakan persatuan sesama Muslim, bekerja sama dalam hal penegakan agama Allah.
Di sini, Ibnu Taimiyah memuji Asyariyah di hadapan Hanabilah agar hanabilah tidak semakin benci kepada Asyariyah dan agar tercapai ta`liful qulub (ikatan bathin) diantara mereka.
Bahkan ia juga bertekad bersedia bekerja sama dengan Ibnu Makhluf, hakim yang telah menjebloskannya ke penjara karena menganggap sesatnya akidah Ibnu Taimiyah.
Dalam Majmu' Al Fatawa jilid 3 hal. 271 setelah mengkritik Ibnu Makhluf habis-habisan, Ibnu Taimiyah berkata:
وَابْنُ مَخْلُوفٍ لَوْ عَمِلَ مَهْمَا عَمِلَ وَاَللَّهِ مَا أَقْدِرُ عَلَى خَيْرٍ إلَّا وَأَعْمَلُهُ مَعَهُ وَلَا أُعِينُ عَلَيْهِ عَدُوَّهُ قَطُّ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ. هَذِهِ نِيَّتِي وَعَزْمِي، مَعَ عِلْمِي بِجَمِيعِ الْأُمُورِ. فَإِنِّي أَعْلَمُ أَنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَلَنْ أَكُونَ عَوْنًا لِلشَّيْطَانِ عَلَى إخْوَانِي الْمُسْلِمِينَ.
"Ibnu Makhluf ini, meski telah melakukan apa yang dia lakukan, maka tetap saja jika saya bisa lakukan kebaikan (maka) akan saya bantu dia dengan bekerja sama dan saya tidak akan menolong musuhnya untuk menjatuhkannya. Tiada kuasa dan daya kecuali dengan izin Allah. Inilah niat dan tekad saya dalam semua perkara, saya tahu bahwa setan mencabut persatuan sesama mukmin dan saya tidak mau menjadi penolong setan dalam melawan saudara saya sesama Muslim"
Ibnu Taimiyah ingin mencontohkan, bahwa apapun perbedaannya, bahkan perbedaan dalam masalah akidah tidak menghalangi untuk bekerja sama dalam kebaikan.
Dan hendaknya jangan menjadi penolong setan mengobarkan perpecahan dan permusuhan sesama Muslim, saling jegal tanpa solusi yang hanya bertujuan untuk saling benci.
Sebagai kelompok minoritas di masa itu, Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya menjadi garda terdepan bersama kaum Muslimin dan pemimpinnya yang Asyariyah, ketika berperang menahan ekspansi Mongol.
Oleh: Ustadz Anshari Taslim Lc.
Demikianlah Artikel Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah
Sekianlah artikel Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah dengan alamat link https://gurupintarmengajar.blogspot.com/2017/03/persatuan-aswaja-wahabi-dan-ibnu.html
0 Response to "Persatuan "Aswaja-Wahabi" dan Ibnu Taimiyah"
Post a Comment