Loading...
Judul : Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan
link : Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan
Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan
Pernahkan Anda menjumpai hasil terjemahan sebuah buku yang diperjual-belikan oleh salah satu penerbit di Yogyakarta, namun sayangnya dalam satu kalimat paragraf awal —baru paragraf awal nih...— ada frasa yang berbunyi seorang paradoks.
Sekitar setahunan yang silam, seorang sarjana asal Wuppertal Jerman bernama Katrin Bandel, yang meraih gelar MA dalam bidang sastra Indonesia di Universitas Hamburg dengan tesis yang menyoal novel dan cerpen Putu Wijaya, pernah mengeluhkan perihal buku-buku terjemahan yang diedarkan para penerbit di Indonesia. Secara tegas Katrin menyatakan bahwa buku-buku terjemahan di Indonesia, baik fiksi maupun yang ilmiah, sangat memprihatinkan. Alasannya, sering nyempal dari substansi yang sesungguhnya atau dengan kata lain hasil terjemahan yang ia baca belumlah layak dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, Katrin memilih membaca teks aslinya, dalam versi bahasa Inggris atau bahasa Jerman.
Katrin pun membandingkan kondisi penerjemahan di Indonesia dengan kondisi penerjemahan di luar negeri, khususnya di Jerman yang menempuh prosedur konsultatif dengan banyak profesor yang dianggap berkompeten terhadap profesionalisasi bidang penerjemahan. Sampai di sini, kita andaikan saja bahwa prosedur konsultatif yang dimaksud Katrin lebih pada siapnya lembaga pemantau kebenaran penerjemahan. Dengan sendirinya, ketika berhadapan dengan lembaga ini, pihak penerjemah —baik secara pribadi atau atas nama penerbit— bisa mengajukan dirinya, serupa presentasi. Saat itulah kemahiran penerjemahannya diuji sehingga hanya yang memenuhi persyaratan kualitatiflah yang akan lolos —jelas, buku hasil terjemahannya siap dikonsumsi publik.
Kemutlakan adanya lembaga pemantau penerjemahan ini, saya kira, sudah saatnya ada. Kita tahu, dalam beragam artikel, reportase dan surat pembaca yang bertebaran di koran-koran kerap mempersoaikan hal ini. Dalam MATABACA Edisi Khusus Tahunan No.12/Agustus 2003, misalnya, kita temui paparan Agung Prihantoro yang kembali mengingatkan kesalahan fatal yang dilakukan Penerbit Buku Kompas ketika membikin seri terjemahan kumpulan cerpen Mata yang Indah menjadi Beautiful Eyes.
Agung Prihantoro menyebut bahwa kritik yang dilontarkan dalam sebuah artikel di harian Kompas, kebetulan ditulis oleh sastrawan Sori Siregar, menunjukkan betapa koridor tugas penerjemahan semakin hablur dalam implementasi konkretnya. Bagaimana jadinya jika penerjemah ikut masuk dalam wilayah menginterpretasi cerita? Itulah persoalan krusial yang ia sodorkan.
Kita tahu, analogi dalam dunia politik yang serba semrawut, dengan hasil yang kurang-lebih tetap manipulatif, toh ada lembaga pemantau yang —barangkali— memang diniatkan sebagai upaya penegakan permainan politik yang elegan. Ada Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), misalnya. Bahkan ada komite-komite sempalan lain yang beritikad membumi-hanguskan para koruptor.
Di dunia perbukuan, upaya penegakan supremasi kemutlakan lembaga penerjemahan ini bisa dibebankan kepada lembaga resmi pemerintah seperti Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang diharapkan sanggup menjembatani kondisi terjemahan buku-buku di Indonesia yang memprihatinkan. Kenapa lembaga seperti Depdiknas yang ditunjuk?
Pertama, dalam aspek kesiapan infrastrukturdan kemampuan organisatoris, lembaga ini bisa dikatakan mampu mengakomodasi dan mengonkretkan program-program baru. Jika ide semacam ini disetujui, pihak Depdiknas tinggal mengundang orang-orang yang berkompeten di dunia penerjemahan untuk berkumpul mencari rumusan dan format yang tepat terhadap sosialisasi buku terjemahan agar tidak melenceng dari cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa. Sebab, bagaimana jadinya dan betapa malunya mahasiswa Indonesia ketika berdiskusi dengan mahasiswa asing? Bahwa ternyata yang ia baca sangat tidak substansial? Apakah layak seorang mahasiswa semester akhir sebuah universitas negeri di Yogyakarta menyebut Michel Foucault adalah dari aliran strukturalisme Perancis? Berdasarkan telaah buku terjemahan siapa? Apakah buku-buku pasca-kolonialisme yang mereka baca terbuktikan esensinya?
Dalam hal ini, lembaga seperti Depdiknas juga bisa sekalian mengundang pihak-pihak seperti Balai Penelitian Bahasa yang selama ini bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Apakah program kerja dari Balai Penelitian Bahasa hanya sebatas menginventarisasi kata-kata serapan bahasa daerah tertentu ke dalam bahasa Indonesia? Seperti kata "anjlok", yang identik sebagai bahasa Jawa, akhimya terbakukan sebagai bahasa Indonesia, sahih dipakai dalam pemberitaan televisi dan diupayakan masuk dalam kamus bahasa Indonesia? Bukankah program kerja Lembaga Penelitian Bahasa jadi terlalu ringan jika hanya mengurusi proyek penelitian bahasa lokal dalam konstelasi skala makro keberbahasaan Indonesia yang tetap bervarian kompleks? Bukankah prosedur memohon "pertanggungjawaban" Balai Penelitian Bahasa dalam mengantisipasi "pembodohan massal" lewat penerjemahan yang melenceng hanya bisa dilakukan oleh lembaga seperti Depdiknas?
Kedua, Depdiknas adalah lembaga yang juga bertanggung jawab terhadap kurikulum kependidikan sehingga ketika ada hal-hal yang bersifat krusial berkaitan dengan masalah pendidikan, agenda pembaruannya bisa langsung diwujudkan. Misalnya, masalah kondisi penerjemahan yang ideal juga masuk dalam mata kuliah Kritik Sastra, tentu saja untuk kurikulum pendidikan level perguruan tinggi.
Karena itu, jika tidak diantisipasi secara cepat dan tepat, pemahaman yang kelirulah yang justru diyakini pembaca buku terjemahan di Indonesia. Padahal, banyak mahasiswa di Indonesia hanya mampu mengandalkan buku-buku terjemahan karena keterbatasan penguasaan bahasa asing. Sikap yang terlalu menyandarkan diri pada keberadaan the second text atau teks sampingan ini, pastilah akan menjadi bumerang kesalahpahaman rasionalisasi ilmu pengetahuan. Pengalaman empirik saya ketika bertemu dengan banyak rekan dari beragam disiplin ilmu juga mengeluhkan hal ini, seperti penyair Saut Situmorang yang berlatar belakang pendidikan sastra Inggris dan University of Wellington di Selandia Baru, yang ketika saya tanya apakah sudah membaca buku terjemahan baru dari penerbit Indonesia selalu saja dijawabnya, "No comment".
Kita tahu.sebenarnya hampir setiap penerbit buku di Indonesia mempunyai tim khusus yang berperan menjadi "penjaga" kebenaran hasil penerjemahan. Namun, pengalaman saya ketika berbincang-bincang dengan seorang editor terjemahan yang bernama Helmy Mustofa, ternyata ia pun merasa kewalahan. Aspek kewalahannya yang utama adalah ketidakmampuannya berhadapan dengan policy makro, policy yang lebih besar, yakni dari "bos" penerbit buku tempat ia bekerja ataupun kebijakan redaksional yang secara komunal—entah mengapa— kadang-kadang tetap meloloskan naskah terjemahan yang menurutnya sangat tidak layak edar.
Nah, karenanya, urgensi adanya lembaga pemantau penerjemahan ini sungguh-sungguh bernilai mutlak sehingga sebelum beredar di tengah masyarakat, draf atau manuskrip buku-buku hasil terjemahan terseleksi lebih dulu oleh pihak lembaga pemantau. Setidaknya, jalan semacam ini diharapkan akan mampu mengerem asumsi kondisi penerjemahan di Indonesia yang meragukan dan publik pembaca pun tidak merasa dibohongi dengan "cuci otak" yang asal-asalan karena apa yang dibacanya ternyata jauh dari sebutan substansial.
Siapa pun tahu, jika orang menyepelekan asumsi —karena belum ada kualifikasi penelitian perihal kebobrokan penerjemahan yang valid— bukankah akan berimbas menjadi stigma atau malah juga vonis?
Satmoko Budi Santoso, editor Jurnal Cerpen Indonesia, penulis buku kumpulan cerpen Jangan Membunuh di Hari Sabtu dan tinggal di Yogyakarta
Majalah MataBaca Vol.2/No.2/Oktober 2003
Pernahkan Anda menjumpai hasil terjemahan sebuah buku yang diperjual-belikan oleh salah satu penerbit di Yogyakarta, namun sayangnya dalam satu kalimat paragraf awal —baru paragraf awal nih...— ada frasa yang berbunyi seorang paradoks.
Sekitar setahunan yang silam, seorang sarjana asal Wuppertal Jerman bernama Katrin Bandel, yang meraih gelar MA dalam bidang sastra Indonesia di Universitas Hamburg dengan tesis yang menyoal novel dan cerpen Putu Wijaya, pernah mengeluhkan perihal buku-buku terjemahan yang diedarkan para penerbit di Indonesia. Secara tegas Katrin menyatakan bahwa buku-buku terjemahan di Indonesia, baik fiksi maupun yang ilmiah, sangat memprihatinkan. Alasannya, sering nyempal dari substansi yang sesungguhnya atau dengan kata lain hasil terjemahan yang ia baca belumlah layak dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, Katrin memilih membaca teks aslinya, dalam versi bahasa Inggris atau bahasa Jerman.
Katrin pun membandingkan kondisi penerjemahan di Indonesia dengan kondisi penerjemahan di luar negeri, khususnya di Jerman yang menempuh prosedur konsultatif dengan banyak profesor yang dianggap berkompeten terhadap profesionalisasi bidang penerjemahan. Sampai di sini, kita andaikan saja bahwa prosedur konsultatif yang dimaksud Katrin lebih pada siapnya lembaga pemantau kebenaran penerjemahan. Dengan sendirinya, ketika berhadapan dengan lembaga ini, pihak penerjemah —baik secara pribadi atau atas nama penerbit— bisa mengajukan dirinya, serupa presentasi. Saat itulah kemahiran penerjemahannya diuji sehingga hanya yang memenuhi persyaratan kualitatiflah yang akan lolos —jelas, buku hasil terjemahannya siap dikonsumsi publik.
Kemutlakan adanya lembaga pemantau penerjemahan ini, saya kira, sudah saatnya ada. Kita tahu, dalam beragam artikel, reportase dan surat pembaca yang bertebaran di koran-koran kerap mempersoaikan hal ini. Dalam MATABACA Edisi Khusus Tahunan No.12/Agustus 2003, misalnya, kita temui paparan Agung Prihantoro yang kembali mengingatkan kesalahan fatal yang dilakukan Penerbit Buku Kompas ketika membikin seri terjemahan kumpulan cerpen Mata yang Indah menjadi Beautiful Eyes.
Agung Prihantoro menyebut bahwa kritik yang dilontarkan dalam sebuah artikel di harian Kompas, kebetulan ditulis oleh sastrawan Sori Siregar, menunjukkan betapa koridor tugas penerjemahan semakin hablur dalam implementasi konkretnya. Bagaimana jadinya jika penerjemah ikut masuk dalam wilayah menginterpretasi cerita? Itulah persoalan krusial yang ia sodorkan.
Kita tahu, analogi dalam dunia politik yang serba semrawut, dengan hasil yang kurang-lebih tetap manipulatif, toh ada lembaga pemantau yang —barangkali— memang diniatkan sebagai upaya penegakan permainan politik yang elegan. Ada Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), misalnya. Bahkan ada komite-komite sempalan lain yang beritikad membumi-hanguskan para koruptor.
Di dunia perbukuan, upaya penegakan supremasi kemutlakan lembaga penerjemahan ini bisa dibebankan kepada lembaga resmi pemerintah seperti Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang diharapkan sanggup menjembatani kondisi terjemahan buku-buku di Indonesia yang memprihatinkan. Kenapa lembaga seperti Depdiknas yang ditunjuk?
Pertama, dalam aspek kesiapan infrastrukturdan kemampuan organisatoris, lembaga ini bisa dikatakan mampu mengakomodasi dan mengonkretkan program-program baru. Jika ide semacam ini disetujui, pihak Depdiknas tinggal mengundang orang-orang yang berkompeten di dunia penerjemahan untuk berkumpul mencari rumusan dan format yang tepat terhadap sosialisasi buku terjemahan agar tidak melenceng dari cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa. Sebab, bagaimana jadinya dan betapa malunya mahasiswa Indonesia ketika
Loading...
berdiskusi dengan mahasiswa asing? Bahwa ternyata yang ia baca sangat tidak substansial? Apakah layak seorang mahasiswa semester akhir sebuah universitas negeri di Yogyakarta menyebut Michel Foucault adalah dari aliran strukturalisme Perancis? Berdasarkan telaah buku terjemahan siapa? Apakah buku-buku pasca-kolonialisme yang mereka baca terbuktikan esensinya?
Dalam hal ini, lembaga seperti Depdiknas juga bisa sekalian mengundang pihak-pihak seperti Balai Penelitian Bahasa yang selama ini bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Apakah program kerja dari Balai Penelitian Bahasa hanya sebatas menginventarisasi kata-kata serapan bahasa daerah tertentu ke dalam bahasa Indonesia? Seperti kata "anjlok", yang identik sebagai bahasa Jawa, akhimya terbakukan sebagai bahasa Indonesia, sahih dipakai dalam pemberitaan televisi dan diupayakan masuk dalam kamus bahasa Indonesia? Bukankah program kerja Lembaga Penelitian Bahasa jadi terlalu ringan jika hanya mengurusi proyek penelitian bahasa lokal dalam konstelasi skala makro keberbahasaan Indonesia yang tetap bervarian kompleks? Bukankah prosedur memohon "pertanggungjawaban" Balai Penelitian Bahasa dalam mengantisipasi "pembodohan massal" lewat penerjemahan yang melenceng hanya bisa dilakukan oleh lembaga seperti Depdiknas?
Kedua, Depdiknas adalah lembaga yang juga bertanggung jawab terhadap kurikulum kependidikan sehingga ketika ada hal-hal yang bersifat krusial berkaitan dengan masalah pendidikan, agenda pembaruannya bisa langsung diwujudkan. Misalnya, masalah kondisi penerjemahan yang ideal juga masuk dalam mata kuliah Kritik Sastra, tentu saja untuk kurikulum pendidikan level perguruan tinggi.
Karena itu, jika tidak diantisipasi secara cepat dan tepat, pemahaman yang kelirulah yang justru diyakini pembaca buku terjemahan di Indonesia. Padahal, banyak mahasiswa di Indonesia hanya mampu mengandalkan buku-buku terjemahan karena keterbatasan penguasaan bahasa asing. Sikap yang terlalu menyandarkan diri pada keberadaan the second text atau teks sampingan ini, pastilah akan menjadi bumerang kesalahpahaman rasionalisasi ilmu pengetahuan. Pengalaman empirik saya ketika bertemu dengan banyak rekan dari beragam disiplin ilmu juga mengeluhkan hal ini, seperti penyair Saut Situmorang yang berlatar belakang pendidikan sastra Inggris dan University of Wellington di Selandia Baru, yang ketika saya tanya apakah sudah membaca buku terjemahan baru dari penerbit Indonesia selalu saja dijawabnya, "No comment".
Kita tahu.sebenarnya hampir setiap penerbit buku di Indonesia mempunyai tim khusus yang berperan menjadi "penjaga" kebenaran hasil penerjemahan. Namun, pengalaman saya ketika berbincang-bincang dengan seorang editor terjemahan yang bernama Helmy Mustofa, ternyata ia pun merasa kewalahan. Aspek kewalahannya yang utama adalah ketidakmampuannya berhadapan dengan policy makro, policy yang lebih besar, yakni dari "bos" penerbit buku tempat ia bekerja ataupun kebijakan redaksional yang secara komunal—entah mengapa— kadang-kadang tetap meloloskan naskah terjemahan yang menurutnya sangat tidak layak edar.
Nah, karenanya, urgensi adanya lembaga pemantau penerjemahan ini sungguh-sungguh bernilai mutlak sehingga sebelum beredar di tengah masyarakat, draf atau manuskrip buku-buku hasil terjemahan terseleksi lebih dulu oleh pihak lembaga pemantau. Setidaknya, jalan semacam ini diharapkan akan mampu mengerem asumsi kondisi penerjemahan di Indonesia yang meragukan dan publik pembaca pun tidak merasa dibohongi dengan "cuci otak" yang asal-asalan karena apa yang dibacanya ternyata jauh dari sebutan substansial.
Siapa pun tahu, jika orang menyepelekan asumsi —karena belum ada kualifikasi penelitian perihal kebobrokan penerjemahan yang valid— bukankah akan berimbas menjadi stigma atau malah juga vonis?
Satmoko Budi Santoso, editor Jurnal Cerpen Indonesia, penulis buku kumpulan cerpen Jangan Membunuh di Hari Sabtu dan tinggal di Yogyakarta
Majalah MataBaca Vol.2/No.2/Oktober 2003
Dalam hal ini, lembaga seperti Depdiknas juga bisa sekalian mengundang pihak-pihak seperti Balai Penelitian Bahasa yang selama ini bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Apakah program kerja dari Balai Penelitian Bahasa hanya sebatas menginventarisasi kata-kata serapan bahasa daerah tertentu ke dalam bahasa Indonesia? Seperti kata "anjlok", yang identik sebagai bahasa Jawa, akhimya terbakukan sebagai bahasa Indonesia, sahih dipakai dalam pemberitaan televisi dan diupayakan masuk dalam kamus bahasa Indonesia? Bukankah program kerja Lembaga Penelitian Bahasa jadi terlalu ringan jika hanya mengurusi proyek penelitian bahasa lokal dalam konstelasi skala makro keberbahasaan Indonesia yang tetap bervarian kompleks? Bukankah prosedur memohon "pertanggungjawaban" Balai Penelitian Bahasa dalam mengantisipasi "pembodohan massal" lewat penerjemahan yang melenceng hanya bisa dilakukan oleh lembaga seperti Depdiknas?
Kedua, Depdiknas adalah lembaga yang juga bertanggung jawab terhadap kurikulum kependidikan sehingga ketika ada hal-hal yang bersifat krusial berkaitan dengan masalah pendidikan, agenda pembaruannya bisa langsung diwujudkan. Misalnya, masalah kondisi penerjemahan yang ideal juga masuk dalam mata kuliah Kritik Sastra, tentu saja untuk kurikulum pendidikan level perguruan tinggi.
Karena itu, jika tidak diantisipasi secara cepat dan tepat, pemahaman yang kelirulah yang justru diyakini pembaca buku terjemahan di Indonesia. Padahal, banyak mahasiswa di Indonesia hanya mampu mengandalkan buku-buku terjemahan karena keterbatasan penguasaan bahasa asing. Sikap yang terlalu menyandarkan diri pada keberadaan the second text atau teks sampingan ini, pastilah akan menjadi bumerang kesalahpahaman rasionalisasi ilmu pengetahuan. Pengalaman empirik saya ketika bertemu dengan banyak rekan dari beragam disiplin ilmu juga mengeluhkan hal ini, seperti penyair Saut Situmorang yang berlatar belakang pendidikan sastra Inggris dan University of Wellington di Selandia Baru, yang ketika saya tanya apakah sudah membaca buku terjemahan baru dari penerbit Indonesia selalu saja dijawabnya, "No comment".
Kita tahu.sebenarnya hampir setiap penerbit buku di Indonesia mempunyai tim khusus yang berperan menjadi "penjaga" kebenaran hasil penerjemahan. Namun, pengalaman saya ketika berbincang-bincang dengan seorang editor terjemahan yang bernama Helmy Mustofa, ternyata ia pun merasa kewalahan. Aspek kewalahannya yang utama adalah ketidakmampuannya berhadapan dengan policy makro, policy yang lebih besar, yakni dari "bos" penerbit buku tempat ia bekerja ataupun kebijakan redaksional yang secara komunal—entah mengapa— kadang-kadang tetap meloloskan naskah terjemahan yang menurutnya sangat tidak layak edar.
Nah, karenanya, urgensi adanya lembaga pemantau penerjemahan ini sungguh-sungguh bernilai mutlak sehingga sebelum beredar di tengah masyarakat, draf atau manuskrip buku-buku hasil terjemahan terseleksi lebih dulu oleh pihak lembaga pemantau. Setidaknya, jalan semacam ini diharapkan akan mampu mengerem asumsi kondisi penerjemahan di Indonesia yang meragukan dan publik pembaca pun tidak merasa dibohongi dengan "cuci otak" yang asal-asalan karena apa yang dibacanya ternyata jauh dari sebutan substansial.
Siapa pun tahu, jika orang menyepelekan asumsi —karena belum ada kualifikasi penelitian perihal kebobrokan penerjemahan yang valid— bukankah akan berimbas menjadi stigma atau malah juga vonis?
Satmoko Budi Santoso, editor Jurnal Cerpen Indonesia, penulis buku kumpulan cerpen Jangan Membunuh di Hari Sabtu dan tinggal di Yogyakarta
Majalah MataBaca Vol.2/No.2/Oktober 2003
Demikianlah Artikel Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan
Sekianlah artikel Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan dengan alamat link https://gurupintarmengajar.blogspot.com/2017/04/urgensi-lembaga-pemantau-penerjemahan.html
0 Response to "Urgensi Lembaga Pemantau Penerjemahan"
Post a Comment