Loading...

MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM

Loading...
MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM - Hallo sahabat Guru pintar, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel GURU, Artikel GURU MAPEL, Artikel IPTEK, Artikel RUANG GURU, Artikel SERTIFIKASI, Artikel TUGAS, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM
link : MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM

Baca juga


MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM

 I.  PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai proses atau upaya untuk membimbing, membina, mendewasakan, memperbaiki sikap yang buruk menjadi sikap baik, merubah hal yang negative menjadi hal yang positif, dan juga membentuk kepribadian yang baik. Dan semua hal tersebut da dasarkan pada ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhoh, dan tadris. Menurut ulama’ tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani). Kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur”. Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan yang sulit.[[1]]
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba; pendidikan islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hokum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah “kepribadian muslim”, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam. Memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam. Dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.[[2] ]
Dalam hal ini pemakalah akan membahas dan menjelaskan mengenai peran dan fungsi Pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan.

II.  PEMBAHASAN
A.      Pengertian pendidikan islam
Pendidikan islam dalam pengertian yang umum adalah, “ Pendidikan yang berlandaskan al-islam”, atau sering juga disebut sebagai pendidikan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Pengertian yang singkat itu tentulah tidak memadai untuk menjelaskan konsep pendidikan islam dengan spesifikasinya yang khas, kecuali sekedar menjelaskan landasan atau dasar-dasar yang digunakan dalam membangun sistem pendidikannya. Yang tidak lain adalah ajaran agama islam, Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an telah melegitimasinya sebagai teladan yang agung dalam rangka melaksanakan misi/tugasnya mendidik manusia ke jalan kebenaran. Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat teladan yang baik bagimu…”
Oleh karena itu para pendidik Islam sebagai pelanjut tugas Rasulullah SAW, seharusnya juga memposisikan diri sebagai teladan.
Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang.
Namun demikin tidaklah berarti bahwa pada masa-masa sebelumnya umat islam telah mengabaikan pendidikan. Bahkan sebaliknya, umat islam dengan giat sekali membangun pendidikannya, tetapi sejauh itu tidak mengembangkan konsep sistem pendidikan yang mampu bergulat dengan kemampuan jaman.
Setelah kebudayaan islam mulai melemah terutama dalam menghadapi budaya moderen yang datang dari Barat, barulah disadari.[[3]]
Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (mis management) Akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan. Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional,berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif.

B. PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU
Pemerintahan memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara.
Kalau dirunut kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang diemban, yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konskuen, sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan.
Walaupun pendidikan agama mendapat porsi yang bagus sejak proklamasi kemerdekaan sampai Orde Baru berakar, namun itu semua hanya bahasa kiasan belaka. Menurut Abdurrahman Mas’ud , PhD. Undang-undang pendidikan dari zaman dahulu sampai sekarang masih terdapat dikotomi pendidikan. Kalau dicermati bahwa undang-undang pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara pendidikan umum dan agama, padahal perkawinan, ilmu agama dan umum justru akan menciptakan kebersamaan dan mampu menciptakan kehidupan yang harmonis serasi dan seimbang
.Prof. Ludjito menyebutkan permasalahan yang terjadi dalam Pendidikan Agama Islam walaupun dari sistem pendidikan nasional cukup kuat, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini karena dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
 Kurangnya jumlah pelajaran agama di sekolah
  Metodologi pendidikan agama kurang tepat. Lebih menitikberatkan pada aspek kognitif   daripada aspek afektif
  Adanya dikotomi pendidikan, meterogenitas pengetahuan dan penghayatan peserta didik
  Perhatian dan kepedulian pemimpin sekolah dan guru terhadap pendidikan agama kurang
  Kemampuan guru agama untuk menghubungkan dengan kehidupan kurang
Kurangnya penanaman nilai-nilai, tata krama dalam Pendidikan Agama Islam
Seandainya dari enam aspek tersebut bisa ditangani, maka pendidikan agama akan lebih diperhatikan masyarakat.
1. Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional
Melalui perjalanan panjang proses penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun 1989, sebagai usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum. Untuk mengembangkan pendidikan Islam haruslah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi “lahan subur” tempat persemaian generasi baru. Artinya pendidikan Islam harus mampu :
    Membedakan akar peserta didik dari semua kekangan dan belenggu
   Membangkitkan indra dan perasaan anak didik sebagai sarana berfikir
   Membekali ilmu pengetahuan
Di samping hal itu peluang untuk berkembangnya pendidikan Islam secara integrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional bisa dilihat dalam beberapa pasal.
a.    Pasal 1 ayat 2, pendidikan nasional adalah pendidikan yang terakhir pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b.     Pasal 4, tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, pribadi yang mantap dan mandiri.
c.     Pasal 10, pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral dan ketrampilan.
d.    Pasal 11 ayat 1, jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, keagamaan, kedinasan, akademik dan profesional.
e.   Pasal 39 ayat 2, isi kurikulum setiap jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, agama dan kewarganegaraan.
f.   Pasal 47, ciri khas suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
2.Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum
Integrasi merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan dan integritas pendidikan memerlukan integritas kurikulum atau secara khusus memerlukan integritas pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah untuk meciptakan manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia.
Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memajukan manusia dalam mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis Untuk melaksanakan suatu yang lebih baik dari masa lalu, pelajaran agama dan mata pelajaran umum ditentukan guru yang memilki integritas keilmuan yang memadai dalam pendidikan. Sehingga bisa menemukan cara untuk dapat menghubungkan bagian-bagian dari suatu bidang dari suatu bidang studi, satu pelajaran dengan mata pelajaran yang lain.
Seorang kader pemimpin Islam yang berwawasan luas selain memiliki cita-cita dan komitmen untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam sebagaimana secara terpadu dan serempak juga memiliki pandangan faham keagamaan pluralis inklusif. Fahamnya yaitu suatu faham keagamaan yang meyakini kebenaran agama yang dianutnya dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh namun pada saat yang bersamaan ia juga mengakui eksistensinya keberadaan agama lain, disertai dengan sikap tidak merasa bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama lain tersesat
Sejalan dengan pemikiran diatas akan preoritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut :
Pertama, pendidikan Islam bukahlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi terhadap anak didik. Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andai-andaian model yang di idealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebihan. Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematic empiric disekitarnya. Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar mengajar agama sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipas dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau subsatansi agama.
Itulah prioritas pendidikan Islam, yakni bagaimana agar agama Islam dapat meletakkan kerangka dasar bagi manusia sehingga mampu menunaikan tugas pokoknya sebagai khalifah dimuka bumi. Pendidikan Islam sesungguhnya adalah bagian yang sangat penting dari proses penyerapan tugas sejarah itu pada setiap anak didik. Tentulah dalam pola pedagogis yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan lingkungan tempat generasi itu menemukan tantangan sejarahnya masing-masing.
Selanjutnya sikap berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual yang bersumberkan pada agama semakin di butuhkan masyarakat masa depan. Hal demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai kegongcangan jiwa atau stress yang diakibatkan kekalahan atau keterbatasan dalam bersaing dengan orang lain, atau sebagai akibat kehidupan sekuler materialistic yang semakin meraja lela.
Untuk menjadikan manusia yang sanggup menghadapi tantangan, peluang dan kendala memasuki kehidupan masa depan itu, pendidikan Islam memiliki peluang yang amat luas, hal ini mudah dimengerti karena pendidikan Islam sebagaimana telah disebutkan diatas adalah pendidikan yang seimbang dalam mempersiapkan anak didik, yaitu anak didik yang tidak hanya mampu mengambangkan kreatifitas intelektial dan imajinasi secara mandiri, tetap juga memiliki ketahanan mental spiritual serta mampu beradaptasi dan merespon problematika yang dihadapinya sesuai kerangka dasar ajaran Islam
.Pendidikan Islam pada masa orde baru merupakan tahap awal munculnya kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan pada masyarakat Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat menyongsong masa akan datang bukan hanya dengan IPTEK melainkan juga di imbangi oleh IMTAQ
C.   Peran pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan
Menurut penulis, peran adalah konstribusi sesuatu yang dapat diberikan kepada yang lain baik konstribusi positif maupun negatif. Peran pendidikan Islam memiliki makna konstribusi pendidikan islam yang dapat diberikan ada aspek yang lainnya yang bersifat positif. Karena pendidikan harus diarahkan untuk mencapai atau memberi sesuatu yang positif. Jika peran tersebut bersifat negatif maka tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan islam. Peran dalam pendidikan islam seharusnya memiliki peran beberapa kategori yaitu antara lain;
a.  Bersifat positif, yaitu peran atau konstribusi yang diberikan oleh pendidikan islam harus positif bagi kehidupan peserta didik maupun masyarakat.
b. Terencana yaitu peran atau konstribusi yang diberikan islam harus didesain atau direncan secara matang, cermat melalui rencana pembelajaran.
c.  Disadari, yaitu peran atau konstribusi pendidikan islam harus benar-benar disadari oleh pelaksanaan pendidikan islam.
Berbicara pendidikan islam diawali dari asumsi terhadap agama islam. Diakui atau agama baik dari aspek teologis maupun sosiologis, dipandang sebagai instrumen untuk memehami realitas yang ada disekitar kehidupan manusia baik yang menyangkut kualitas dirinya sendiri maupun kualitas hubungan pribadi dengan lingkungannya.
Dari aspek teologis, agama islam memiliki kandungan simbol-simbol yang hadir dimana-mana, simbol tersebut ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, maka islam tidak mau pasti akan memiliki pengaruh dalam arti dipengaruhi atau mempengaruhi dianmika kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Secara teologis islam lebih dipahami sebagai digma ketimbangan sebagai ilmu pengetuahuan (sience), implikasi islam lebih bersifat sakral, tertutup dan dianggap sudah final. Memahami islam sebagai dogma memang menjadi salah satu persyaratan bagi setiap pemeluk agama, tetapi jika hanya dipahami sebatas dogma maka islam akan mengalami kemandegkan. Pemahaman islam sebagai dogma akan mudah melahirkan ketegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu islam juga harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan agar islam bisa menjawab  berbagai tantangan kehidupan masyarakat. Islam sebagi ilmu pengetahuan dapat juga diartikan islam secara sosilogis. Yaitu bagaimana mengurai atau menjelaskan islam dari berbagai aspek kedupan yang melingkupi pemeluknya.
Dalam konteks ini, Endang Komara dalam makalahnya pendidikan islam dan globalisasi, memjelaskan bahwa, pada dasarnya ada tida aliran besar dalam memandang islam
a.  Prespektif  mekanik holistik, yang memposisikan hubungan antara aganma dan persoalan kemasyarakatan sebagi sesuatu yang tak terpisahkan
b.  Pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah(domains) yang antara stu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan.
c.  Pandangan tengah yang mencoba mengintregasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antra agama dengan persoalan kemasyaraatan.
Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik holistik dan intitusioanal, didalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fack)bahwa antar keduannya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada dalam kadar dan intensitas yang tidak sam serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substansif.
Pendidikan islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memehami hakikat pendidikan islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut islam.
Lebih lanjut Endang Komara menjelaskan bahwa berpedonam ruang lingkup pendidikan islam yang ingin dicapai, maka kurukulum pendidikan islam itu beroriantasi kepada tiaga hal yaitu:
a.   Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
b.   Tercapainya tujuan hablum manannas(hubungan dengan manusia)
c.    Tercapainya tujuan hablum minal’lam(hubungan dengan alam).
Para ahli pendidikan islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al- jamali, as-syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan islam yang pada prinsipnya tetap beroriantasi kepada ketiga komponen tersebut.
Dalam Endang Komara, ketiga permaslahan pokok pendidikan islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kultural dan sumber daya manusia, probelm itu dapat diurai sebagai berikut:
Pertama, secara stuktural lembaga-lembaga pendidikan islam negeri berada langsung dibawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbula dalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatsnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost persiswa atau mahsiswa. Sehubungan dengan hal itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan islam terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggap segi lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukan anaknya kelembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan islam tersebut sebagai pendidikan kelas dua dapat dilihat dari outputnya, gurunya, saran dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan atau jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan islam seperti diatas.
Ketiganya, sumber daya manusia para pengelola dan pelaksana pendidikan dilembaga pendidikan islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingakatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan perofesional masih kurang. Guru bidang studi umum ( matematika, IPA, biologi, kimia, dll) masih belum memcukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap outpunya.
Berdasarkan beberapa kajian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa peran pendidikan islam adalah sangat luas, kompleks dan komperhensif. Peran pendidikan Islam dapat diwujudkan dalam bentuk sebagi berkut:
a.  Peran akademik, pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik khususnya dalam penegmbangan potensi atau kualitas akademis yang meliputi:
1.      Kemampuan untuk menegtahui
2.      Kemampuan untuk memahami
3.      Kemampuan untuk menerapkan teori
4.      Kemampuan untuk menganalisis
5.      Kemampuan untuk melakukan sintesa
6.      Kemanpuan untuk melakukan evaluasi.
b.  Peran moral, pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk membimbing, melatik kualitas moral peserta didik ynag meliputi affektif yaitu recaiving, responding, organiting, valuing dan value compleks.
c.  Peran teknologis, yaitu pendidikan islam harus memilki kemampuan untuk melahirkan peserta didik yang mampu menggunakan atau manfaat teknologi sabagai sarana untuk me;ahirkan ketenangan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi individu maupun masyarakat.
d.  Peran sosiologis yaitu pendidikan islam harus memiliki kemampuan melatih, membibimbing peserta didik yang memiliki hubungan atau perilaku denga sesama manusia secara baik, toleran saling menghargai sesama manusia.
e.  Peran psikologis, yaitu pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk melahirkan sikap dan kepribadian yang utuh dan komprehensif sehingga terwujud personifikasi individu yang baik.[[4] ]
Fungsi dan peranan pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam Menduduki posisi strategis dan vitas. Pendidik yang terlibat secara fisik dan emosional dalam proses pengembangan fitrah manusia didik baik langsung ataupun tidak akan memberi warna tersendiri terhadap corak dan model sumber daya manusia yang dihasilkannya. Oleh karena itu, disamping sangat menghargai posisi strategi pendidik, Islam telah menggariskan fungsi, peranan dan criteria seorang pendidik.
Menurut Zuhairini, dkk dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan sebagai pendidik. Hal ini didasarkan pada surat Al-Mujadalah (58) ayat 11:
 يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang berilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Sebagai pengembang fitrah kemanusiaan anak atau peserta didik, maka pendidik harus memiliki nilai lebih atau nilai plus di banding si terdidik. Tanpa memiliki nilai lebih, sulit bagi pendidik untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik, sebab itu akan kehilangan arah, tidak tahu arah kemana fitrah anak didik dikembangkan, serta daya dukung apa yang dapat digunakan. Nilai lebih yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam mencakup 3 hal pokok, yaitu pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang di dasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Agar dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kependidikan Islam dengan baik, Mohamad Athiyah al-Abrosyi (1980) menyebutkan 7 sifat dan /atau yang harus dimiliki oleh pendidik Islam, yaitu:
     1.  Bersifat Zuhud, dalam arti tidak mengutamakan kepentingan materi dalam pelaksanaan tugasnya, namun lebih mementingkan perolehan keridlaan Allah.
2.  Berjiwa bersih dan terhindar dari sifat/akhlak buruk, dalam arti bersih secara fisik/jasmani dan bersih secara mental/rohani, sehingga dengan sendirinya terhindar dari sifat/perilaku buruk.
3.  Bersikap ikhlas dalam melaksanakan tugas mendidik. Hamper sama dengan zuhud, tetapi ikhlas dalam hal ini lebih diperluas. Makna ikhlas dalam kaitan ini termasuk pula sikap terbuka, mau menerima saran dan kritik tidak terkecuali dari peserta didik sehingga dalam pembelajaran tercipta interaksi antara guru dan murid bagaikan interaksi antar sesama subyek.
4.  Bersifat pemaaf, peserta didik sebagai manusia berpotensi tentu penuh dinamika.
5.  Bersifat kebapaan dan keibuan, dalam arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka.
6.  Berkemampuan memahami bakat, tabiat dan watak peserta didik, khususnya pendidik Islam disini tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan psikologi. Agar mampu  memahami tabiat, watak, pertumbuhan dan perkembanagn peserta didik sebagai landasan dasar pengembangan potensi mereka.
7.  Menguasai bidang studi/bidang pengetahuan yang akan dikembangkan atau diajarkan.
Sifat dan kemampuan yang dipersyaratkan kepada pendidik Islam sebagaimana dirumuskan diatas, hanyalah sebagian dari sekian banyak sifat dan kemampuan yang harus dimiliki  agar fungsi dan peranan pendidik Islam dalam proses pendidikan Islam dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan tuntutan ajaran Islam serta perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dunia kependidikan Islam. Sifat dan kemampuan lain, misalnya pendidik Islam harus bersifat kreatif, keteladanan, bertanggung jawab dan sebagainya.
Pendidik seharusnya mempunyai kreatifitsnya, karena peserta didik dengan fitrahnya memiliki model kreatif yang siap berkembang, tanpa di imbangi dan di tuntun dengan sifat dan sikap kreatif tinggi dari pendidik/guru, maka modal kreatif anak didik tidak akan berkembang maksimal.
Pendidikan pada hakikatnya juga proses alih budaya, pemindahan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kepribadian/tingkah laku, dimana di dalamnya termuat proses peniruan anak didik terhadap orag-orang di sekitarnya, khususnya para pendidik mereka. Agar proses peniruan tersebut bermakna positif, maka guru sebagai objek sekaligus subjek tiruan anak harus memberikan keteladanan, baik keteladanan dalam perilaku pergaulan dan peribadatan/pengabdian maupun keteladanan dalam menghargai, mencintai dan berikhtiar menguasai pengetahuan dan keterampilan. Nabi Muhammad SAW sebagai seorang guru/pendidik umat manusia telah memposisikan dirinya sebagai teladan. Al-Qur’an telah melegitimasinya sebagai teladan yang agung dalam rangka melaksanakan misi/tugasnya mendidik manusia ke jalan kebenaran. Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat teladan yang baik bagimu…”
Oleh karena itu para pendidik Islam sebagai pelanjut tugas Rasulullah SAW, seharusnya juga memposisikan diri sebagai teladan.
Tugas membina dan mengembangkan fitrah peserta didik pada hakikatnya tugas membina dan mengembangkan diri manusia dengan segala potensinya, kebebasannya, kreativitas dan dinamikanya, sehingga bila tidak disertai dengan sikap tanggung jawab pendidik membawa mereka secara konsisten ke sasaran/tujuan yang telah ditentukan, kemungkinan terjadinya salah didik, salah arah dan penyimpangan sangat berat dan itu sangat berbahaya. Lain halnya dengan binatang yang bersifat pasif, tidak memiliki potensi dan sejenisnya, kalaupun terjadi salah arah, tidak akan melampaui batas yang sangat berlebihan.
Disisi lain, salah satu dari muatan materi pendidikan Islam itu adalah penanaman sifat dan sikap tanggung jawab peserta didik. Oleh karena itu, sangat mustahil sifat dan sikap tanggung jawab itu dapat di alihkan, diwariskan atau ditanamkan kepada peserta didik jika dilakukan oleh seorang pendidik yang tidak/kurang memiliki sikap tanggung jawab
Pendidikan Islam sebagai sebuah ikhtiar bermakna kumpulan aktivitas/perilaku, termasuk perilaku pendidik. Dalam Islam, setiap perilaku mengandung konsekuensi pertanggungjawaban kepada berbagai pihak, khususnya kepada Allah SWT. Perilaku mendidik yang diperankan oleh para pendidik Islam secara otomatis harus dipertanggungjawabkan. Karena itu dalam pelaksanaannya harus disertai sikap tanggung jawab.
Dengan terpenuhinya berbagai criteria teknis dan moral yang dipersyaratkan ajaran Islam, diharapkan para pendidik Islam mampu melaksanakan fungsi dan peranan kependidikannya, sehingga berhasil membawa peserta didik mencapai tujuan ideal/tujuan akhir pendidikan Islam, kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.[[5]]
Sebenarnya bila diteliti lebih lanjut bahwa masyarakat Indonesia sembilan puluh persen beragama islam yang lainnya beragama kristen, hindu, budha, dll. Kemudian sudah mengeyam pendidikan madrasah ataupun pendidikan yang lebih  tinggi yang berbasis agama islam tetapi dari diri mereka sendiri belum mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan, padahal bila pendidikan agama islam diterapkan pada kehidupan saat ini, mungkin negara akan menjadi tentram dan sesuai dengan apa yang telah diharapkan selama ini.
Indonesia mempunyai sumber hukum pancasila dan UUD 1945 tidak seperti di negara Saudi Arabia yang berlandaskan hukum alqur’an, sehingga negara Indonesia belum bisa dikatakan negara islami. Jadi, dapat dimaklumi apabila masyarakatnya masih banyak yang tidak sejalan dengan ajaran agama karena perbedaan agama ataupun orang yang beragama islam yang terpangaruh dan mengikuti kebiasaan buruk mereka seperti: perilaku, model baju,dll. Sehingga dapat menggoyahkan pendirian mereka seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman.[[6]]
Peran  pendidikan agama islam di era gobalisasi ini mempunyai beberapa bentuk yaitu:
1)    Sebagai penunjuk jalan yang benar.  Tanpa adanya agama manusia tidak mempunyai pendirian yang teguh,tidak mempunyai aturanKarena agama merupakan sebuah kepercayaan yang harus dianut seseorang untuk menentukan arah tujuan hidup orang tersebut.
2)    Menciptakan budi pekerti yang luhur, dengan adanya akhlaqul karimah hubungan manusia satu dengan lainnya akan terjalin dengan baik, berbudi pekerti yang luhur juga sudah di cuntohkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Karena saat ini sangat dibutuhkan agar agama islam tidak meniru kepribadian negara barat yang melenceng dari agama islam.
3)    Dapat memanfaatkan kekuatan teknologi sebagaimana mestinya, teknologi adalah segalanya bagi kita, dengan adanya teknologi  akan melepaskan diri dari bentuk penindasan oleh orang yang kuat terhadap orang yang lemah, membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan serta keterbelakangan.Tetapi bila terjadi kesalahan penggunaan teknologi maka dapat mencemarkan akhlaq, tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam menerima ilmu, waktu digunakan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
4)   Untuk menjadikan filter bagi kebudayaan asing malalui nilai-nilai dan norma yang ada. Semua pikiran, perilaku, budaya serta norma-norma kita tidak harus berkiblat kepadmereka walaupun perubahan-perubahan itu juga dari negara asing. Resiko bila tidak mengikuti trend, bisa dikatakan “ ndeso”, “kampungan”, tetapi kenyataannya tradisi dan kebudayaan yang berasal dari negara asing tidak sesuai  dengan ajaran agama islam. Seperti, berpakaian  yang mengundang syahwat, minum-minuman yang beralkohol,dll. Alanglkah baiknya bila kita meniru yang baik saja dan meninggalkan yang jelek.
5)    Menghormati dan mengakui agama lain yang biasa disebut dengan pluralisme agama, menghormati perbedaan pendapat harus kita terima, karena akan menjalin ikatan yang baik antar umat dan bila tidak terjalin  hubungan baik maka tujuan negara tidak akan tercapai yakni terciptanya perdamaian abadi antar Negara.  Oleh karena itu, agar tercapai tujuan dari negara kita dituntut untuk toleransi terhadap agam lain.

 Dari kelima peran tadi, dapat dsimpulkan bahwa pendidikan agama islam bisa dijadikan tolak ukur untuk mengubah kesan negatif pada zaman modern yang mengorak-abrik moral bangsa dan apabila pendidikan agama islam ini benar-benar di pelajari lebih mendalam lagi dan diamalkannya  maka akan memberikan kesan positif bagi negara dan agama islam. Serta menjadikan anak -anak penerus bangsa yang  brintelektual tinggi dan berakhlaq mulia tanpa mencemaskan situasi dan kondisi yang memburuk. Selain itu, negara lain akan tertarik dengan bentuk- bentuk kita dalam menyikapi problem tantangan global, dan akan mengikiti apa yang telah dilakukan oleh negara kita.
Oleh karenanya, negara harus ditata sedemikian rupa agar tidak terkalahkan oleh tantangan zaman modern. kemudian tumbuhkanlah semangat anak-anak bangsa dan janganlah berputus asa untuk mendapatkan yang terbaik bagi negara.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah ini tentang pendidikan masa orde baru maka dapat disimpulkan bahwa, pendidikan Islam pada masa Orde Beru, masa itu banyak jalan yang ditempuh untuk menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal ini bisa dilihat dari SKB 2 Menteri tentang sekolah umum dan agama. Dengan adanya SKB tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bisa dilakukan dengan cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus. Namun dengan adanya UU tentang pendidikan nomor 2 bisa diharapkan mempertipis dikotomi pendidikan.
Pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya ( amal saleh).
Dengan demikian pendidikan yang Islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai Ilahiyah yang transcendental.
Pendidikan yang Islami sebagaimana di uraikan diatas akan tetap di perlukan untuk mengatasi berbagai masalah kemanusian yang di hadapi pada masyarakat moderen saat ini dan dimasa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

1.    Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta, hal.10
2.     Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, hal. 9
3.    Siddik, Dja’Far. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media,2006.
4.    [1]M. Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros,     Kudus, 2009, hal. 39-45
5.     Ahmad Syar’I, filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005, hal.35
6.     Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004, hal. 29


[1]  Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta, hal.10
[2]  Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, hal. 9
[3] Siddik, Dja’Far. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media,2006.
[4] M. Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros, Kudus, 2009, hal. 39-45
[5]  Ahmad Syar’I, filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005, hal.35
[6]  Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004, hal. 29
Loading...
 I.  PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai proses atau upaya untuk membimbing, membina, mendewasakan, memperbaiki sikap yang buruk menjadi sikap baik, merubah hal yang negative menjadi hal yang positif, dan juga membentuk kepribadian yang baik. Dan semua hal tersebut da dasarkan pada ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhoh, dan tadris. Menurut ulama’ tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani). Kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur”. Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan yang sulit.[[1]]
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba; pendidikan islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hokum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah “kepribadian muslim”, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam. Memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam. Dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.[[2] ]
Dalam hal ini pemakalah akan membahas dan menjelaskan mengenai peran dan fungsi Pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan.

II.  PEMBAHASAN
A.      Pengertian pendidikan islam
Pendidikan islam dalam pengertian yang umum adalah, “ Pendidikan yang berlandaskan al-islam”, atau sering juga disebut sebagai pendidikan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Pengertian yang singkat itu tentulah tidak memadai untuk menjelaskan konsep pendidikan islam dengan spesifikasinya yang khas, kecuali sekedar menjelaskan landasan atau dasar-dasar yang digunakan dalam membangun sistem pendidikannya. Yang tidak lain adalah ajaran agama islam, Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an telah melegitimasinya sebagai teladan yang agung dalam rangka melaksanakan misi/tugasnya mendidik manusia ke jalan kebenaran. Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat teladan yang baik bagimu…”
Oleh karena itu para pendidik Islam sebagai pelanjut tugas Rasulullah SAW, seharusnya juga memposisikan diri sebagai teladan.
Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang.
Namun demikin tidaklah berarti bahwa pada masa-masa sebelumnya umat islam telah mengabaikan pendidikan. Bahkan sebaliknya, umat islam dengan giat sekali membangun pendidikannya, tetapi sejauh itu tidak mengembangkan konsep sistem pendidikan yang mampu bergulat dengan kemampuan jaman.
Setelah kebudayaan islam mulai melemah terutama dalam menghadapi budaya moderen yang datang dari Barat, barulah disadari.[[3]]
Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (mis management) Akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan. Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional,berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif.

B. PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU
Pemerintahan memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara.
Kalau dirunut kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang diemban, yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konskuen, sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan.
Walaupun pendidikan agama mendapat porsi yang bagus sejak proklamasi kemerdekaan sampai Orde Baru berakar, namun itu semua hanya bahasa kiasan belaka. Menurut Abdurrahman Mas’ud , PhD. Undang-undang pendidikan dari zaman dahulu sampai sekarang masih terdapat dikotomi pendidikan. Kalau dicermati bahwa undang-undang pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara pendidikan umum dan agama, padahal perkawinan, ilmu agama dan umum justru akan menciptakan kebersamaan dan mampu menciptakan kehidupan yang harmonis serasi dan seimbang
.Prof. Ludjito menyebutkan permasalahan yang terjadi dalam Pendidikan Agama Islam walaupun dari sistem pendidikan nasional cukup kuat, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini karena dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
 Kurangnya jumlah pelajaran agama di sekolah
  Metodologi pendidikan agama kurang tepat. Lebih menitikberatkan pada aspek kognitif   daripada aspek afektif
  Adanya dikotomi pendidikan, meterogenitas pengetahuan dan penghayatan peserta didik
  Perhatian dan kepedulian pemimpin sekolah dan guru terhadap pendidikan agama kurang
  Kemampuan guru agama untuk menghubungkan dengan kehidupan kurang
Kurangnya penanaman nilai-nilai, tata krama dalam Pendidikan Agama Islam
Seandainya dari enam aspek tersebut bisa ditangani, maka pendidikan agama akan lebih diperhatikan masyarakat.
1. Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional
Melalui perjalanan panjang proses penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun 1989, sebagai usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum. Untuk mengembangkan pendidikan Islam haruslah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi “lahan subur” tempat persemaian generasi baru. Artinya pendidikan Islam harus mampu :
    Membedakan akar peserta didik dari semua kekangan dan belenggu
   Membangkitkan indra dan perasaan anak didik sebagai sarana berfikir
   Membekali ilmu pengetahuan
Di samping hal itu peluang untuk berkembangnya pendidikan Islam secara integrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional bisa dilihat dalam beberapa pasal.
a.    Pasal 1 ayat 2, pendidikan nasional adalah pendidikan yang terakhir pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b.     Pasal 4, tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, pribadi yang mantap dan mandiri.
c.     Pasal 10, pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral dan ketrampilan.
d.    Pasal 11 ayat 1, jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, keagamaan, kedinasan, akademik dan profesional.
e.   Pasal 39 ayat 2, isi kurikulum setiap jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, agama dan kewarganegaraan.
f.   Pasal 47, ciri khas suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
2.Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum
Integrasi merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan dan integritas pendidikan memerlukan integritas kurikulum atau secara khusus memerlukan integritas pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah untuk meciptakan manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia.
Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memajukan manusia dalam mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis Untuk melaksanakan suatu yang lebih baik dari masa lalu, pelajaran agama dan mata pelajaran umum ditentukan guru yang memilki integritas keilmuan yang memadai dalam pendidikan. Sehingga bisa menemukan cara untuk dapat menghubungkan bagian-bagian dari suatu bidang dari suatu bidang studi, satu pelajaran dengan mata pelajaran yang lain.
Seorang kader pemimpin Islam yang berwawasan luas selain memiliki cita-cita dan komitmen untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam sebagaimana secara terpadu dan serempak juga memiliki pandangan faham keagamaan pluralis inklusif. Fahamnya yaitu suatu faham keagamaan yang meyakini kebenaran agama yang dianutnya dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh namun pada saat yang bersamaan ia juga mengakui eksistensinya keberadaan agama lain, disertai dengan sikap tidak merasa bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama lain tersesat
Sejalan dengan pemikiran diatas akan preoritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut :
Pertama, pendidikan Islam bukahlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi terhadap anak didik. Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andai-andaian model yang di idealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebihan. Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematic empiric disekitarnya. Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar mengajar agama sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipas dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau subsatansi agama.
Itulah prioritas pendidikan Islam, yakni bagaimana agar agama Islam dapat meletakkan kerangka dasar bagi manusia sehingga mampu menunaikan tugas pokoknya sebagai khalifah dimuka bumi. Pendidikan Islam sesungguhnya adalah bagian yang sangat penting dari proses penyerapan tugas sejarah itu pada setiap anak didik. Tentulah dalam pola pedagogis yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan lingkungan tempat generasi itu menemukan tantangan sejarahnya masing-masing.
Selanjutnya sikap berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual yang bersumberkan pada agama semakin di butuhkan masyarakat masa depan. Hal demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai kegongcangan jiwa atau stress yang diakibatkan kekalahan atau keterbatasan dalam bersaing dengan orang lain, atau sebagai akibat kehidupan sekuler materialistic yang semakin meraja lela.
Untuk menjadikan manusia yang sanggup menghadapi tantangan, peluang dan kendala memasuki kehidupan masa depan itu, pendidikan Islam memiliki peluang yang amat luas, hal ini mudah dimengerti karena pendidikan Islam sebagaimana telah disebutkan diatas adalah pendidikan yang seimbang dalam mempersiapkan anak didik, yaitu anak didik yang tidak hanya mampu mengambangkan kreatifitas intelektial dan imajinasi secara mandiri, tetap juga memiliki ketahanan mental spiritual serta mampu beradaptasi dan merespon problematika yang dihadapinya sesuai kerangka dasar ajaran Islam
.Pendidikan Islam pada masa orde baru merupakan tahap awal munculnya kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan pada masyarakat Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat menyongsong masa akan datang bukan hanya dengan IPTEK melainkan juga di imbangi oleh IMTAQ
C.   Peran pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan
Menurut penulis, peran adalah konstribusi sesuatu yang dapat diberikan kepada yang lain baik konstribusi positif maupun negatif. Peran pendidikan Islam memiliki makna konstribusi pendidikan islam yang dapat diberikan ada aspek yang lainnya yang bersifat positif. Karena pendidikan harus diarahkan untuk mencapai atau memberi sesuatu yang positif. Jika peran tersebut bersifat negatif maka tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan islam. Peran dalam pendidikan islam seharusnya memiliki peran beberapa kategori yaitu antara lain;
a.  Bersifat positif, yaitu peran atau konstribusi yang diberikan oleh pendidikan islam harus positif bagi kehidupan peserta didik maupun masyarakat.
b. Terencana yaitu peran atau konstribusi yang diberikan islam harus didesain atau direncan secara matang, cermat melalui rencana pembelajaran.
c.  Disadari, yaitu peran atau konstribusi pendidikan islam harus benar-benar disadari oleh pelaksanaan pendidikan islam.
Berbicara pendidikan islam diawali dari asumsi terhadap agama islam. Diakui atau agama baik dari aspek teologis maupun sosiologis, dipandang sebagai instrumen untuk memehami realitas yang ada disekitar kehidupan manusia baik yang menyangkut kualitas dirinya sendiri maupun kualitas hubungan pribadi dengan lingkungannya.
Dari aspek teologis, agama islam memiliki kandungan simbol-simbol yang hadir dimana-mana, simbol tersebut ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, maka islam tidak mau pasti akan memiliki pengaruh dalam arti dipengaruhi atau mempengaruhi dianmika kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Secara teologis islam lebih dipahami sebagai digma ketimbangan sebagai ilmu pengetuahuan (sience), implikasi islam lebih bersifat sakral, tertutup dan dianggap sudah final. Memahami islam sebagai dogma memang menjadi salah satu persyaratan bagi setiap pemeluk agama, tetapi jika hanya dipahami sebatas dogma maka islam akan mengalami kemandegkan. Pemahaman islam sebagai dogma akan mudah melahirkan ketegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu islam juga harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan agar islam bisa menjawab  berbagai tantangan kehidupan masyarakat. Islam sebagi ilmu pengetahuan dapat juga diartikan islam secara sosilogis. Yaitu bagaimana mengurai atau menjelaskan islam dari berbagai aspek kedupan yang melingkupi pemeluknya.
Dalam konteks ini, Endang Komara dalam makalahnya pendidikan islam dan globalisasi, memjelaskan bahwa, pada dasarnya ada tida aliran besar dalam memandang islam
a.  Prespektif  mekanik holistik, yang memposisikan hubungan antara aganma dan persoalan kemasyarakatan sebagi sesuatu yang tak terpisahkan
b.  Pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah(domains) yang antara stu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan.
c.  Pandangan tengah yang mencoba mengintregasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antra agama dengan persoalan kemasyaraatan.
Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik holistik dan intitusioanal, didalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fack)bahwa antar keduannya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada dalam kadar dan intensitas yang tidak sam serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substansif.
Pendidikan islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memehami hakikat pendidikan islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut islam.
Lebih lanjut Endang Komara menjelaskan bahwa berpedonam ruang lingkup pendidikan islam yang ingin dicapai, maka kurukulum pendidikan islam itu beroriantasi kepada tiaga hal yaitu:
a.   Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
b.   Tercapainya tujuan hablum manannas(hubungan dengan manusia)
c.    Tercapainya tujuan hablum minal’lam(hubungan dengan alam).
Para ahli pendidikan islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al- jamali, as-syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan islam yang pada prinsipnya tetap beroriantasi kepada ketiga komponen tersebut.
Dalam Endang Komara, ketiga permaslahan pokok pendidikan islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kultural dan sumber daya manusia, probelm itu dapat diurai sebagai berikut:
Pertama, secara stuktural lembaga-lembaga pendidikan islam negeri berada langsung dibawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbula dalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatsnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost persiswa atau mahsiswa. Sehubungan dengan hal itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan islam terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggap segi lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukan anaknya kelembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan islam tersebut sebagai pendidikan kelas dua dapat dilihat dari outputnya, gurunya, saran dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan atau jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan islam seperti diatas.
Ketiganya, sumber daya manusia para pengelola dan pelaksana pendidikan dilembaga pendidikan islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingakatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan perofesional masih kurang. Guru bidang studi umum ( matematika, IPA, biologi, kimia, dll) masih belum memcukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap outpunya.
Berdasarkan beberapa kajian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa peran pendidikan islam adalah sangat luas, kompleks dan komperhensif. Peran pendidikan Islam dapat diwujudkan dalam bentuk sebagi berkut:
a.  Peran akademik, pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik khususnya dalam penegmbangan potensi atau kualitas akademis yang meliputi:
1.      Kemampuan untuk menegtahui
2.      Kemampuan untuk memahami
3.      Kemampuan untuk menerapkan teori
4.      Kemampuan untuk menganalisis
5.      Kemampuan untuk melakukan sintesa
6.      Kemanpuan untuk melakukan evaluasi.
b.  Peran moral, pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk membimbing, melatik kualitas moral peserta didik ynag meliputi affektif yaitu recaiving, responding, organiting, valuing dan value compleks.
c.  Peran teknologis, yaitu pendidikan islam harus memilki kemampuan untuk melahirkan peserta didik yang mampu menggunakan atau manfaat teknologi sabagai sarana untuk me;ahirkan ketenangan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi individu maupun masyarakat.
d.  Peran sosiologis yaitu pendidikan islam harus memiliki kemampuan melatih, membibimbing peserta didik yang memiliki hubungan atau perilaku denga sesama manusia secara baik, toleran saling menghargai sesama manusia.
e.  Peran psikologis, yaitu pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk melahirkan sikap dan kepribadian yang utuh dan komprehensif sehingga terwujud personifikasi individu yang baik.[[4] ]
Fungsi dan peranan pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam Menduduki posisi strategis dan vitas. Pendidik yang terlibat secara fisik dan emosional dalam proses pengembangan fitrah manusia didik baik langsung ataupun tidak akan memberi warna tersendiri terhadap corak dan model sumber daya manusia yang dihasilkannya. Oleh karena itu, disamping sangat menghargai posisi strategi pendidik, Islam telah menggariskan fungsi, peranan dan criteria seorang pendidik.
Menurut Zuhairini, dkk dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan sebagai pendidik. Hal ini didasarkan pada surat Al-Mujadalah (58) ayat 11:
 يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang berilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Sebagai pengembang fitrah kemanusiaan anak atau peserta didik, maka pendidik harus memiliki nilai lebih atau nilai plus di banding si terdidik. Tanpa memiliki nilai lebih, sulit bagi pendidik untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik, sebab itu akan kehilangan arah, tidak tahu arah kemana fitrah anak didik dikembangkan, serta daya dukung apa yang dapat digunakan. Nilai lebih yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam mencakup 3 hal pokok, yaitu pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang di dasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Agar dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kependidikan Islam dengan baik, Mohamad Athiyah al-Abrosyi (1980) menyebutkan 7 sifat dan /atau yang harus dimiliki oleh pendidik Islam, yaitu:
     1.  Bersifat Zuhud, dalam arti tidak mengutamakan kepentingan materi dalam pelaksanaan tugasnya, namun lebih mementingkan perolehan keridlaan Allah.
2.  Berjiwa bersih dan terhindar dari sifat/akhlak buruk, dalam arti bersih secara fisik/jasmani dan bersih secara mental/rohani, sehingga dengan sendirinya terhindar dari sifat/perilaku buruk.
3.  Bersikap ikhlas dalam melaksanakan tugas mendidik. Hamper sama dengan zuhud, tetapi ikhlas dalam hal ini lebih diperluas. Makna ikhlas dalam kaitan ini termasuk pula sikap terbuka, mau menerima saran dan kritik tidak terkecuali dari peserta didik sehingga dalam pembelajaran tercipta interaksi antara guru dan murid bagaikan interaksi antar sesama subyek.
4.  Bersifat pemaaf, peserta didik sebagai manusia berpotensi tentu penuh dinamika.
5.  Bersifat kebapaan dan keibuan, dalam arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka.
6.  Berkemampuan memahami bakat, tabiat dan watak peserta didik, khususnya pendidik Islam disini tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan psikologi. Agar mampu  memahami tabiat, watak, pertumbuhan dan perkembanagn peserta didik sebagai landasan dasar pengembangan potensi mereka.
7.  Menguasai bidang studi/bidang pengetahuan yang akan dikembangkan atau diajarkan.
Sifat dan kemampuan yang dipersyaratkan kepada pendidik Islam sebagaimana dirumuskan diatas, hanyalah sebagian dari sekian banyak sifat dan kemampuan yang harus dimiliki  agar fungsi dan peranan pendidik Islam dalam proses pendidikan Islam dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan tuntutan ajaran Islam serta perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dunia kependidikan Islam. Sifat dan kemampuan lain, misalnya pendidik Islam harus bersifat kreatif, keteladanan, bertanggung jawab dan sebagainya.
Pendidik seharusnya mempunyai kreatifitsnya, karena peserta didik dengan fitrahnya memiliki model kreatif yang siap berkembang, tanpa di imbangi dan di tuntun dengan sifat dan sikap kreatif tinggi dari pendidik/guru, maka modal kreatif anak didik tidak akan berkembang maksimal.
Pendidikan pada hakikatnya juga proses alih budaya, pemindahan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kepribadian/tingkah laku, dimana di dalamnya termuat proses peniruan anak didik terhadap orag-orang di sekitarnya, khususnya para pendidik mereka. Agar proses peniruan tersebut bermakna positif, maka guru sebagai objek sekaligus subjek tiruan anak harus memberikan keteladanan, baik keteladanan dalam perilaku pergaulan dan peribadatan/pengabdian maupun keteladanan dalam menghargai, mencintai dan berikhtiar menguasai pengetahuan dan keterampilan. Nabi Muhammad SAW sebagai seorang guru/pendidik umat manusia telah memposisikan dirinya sebagai teladan. Al-Qur’an telah melegitimasinya sebagai teladan yang agung dalam rangka melaksanakan misi/tugasnya mendidik manusia ke jalan kebenaran. Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat teladan yang baik bagimu…”
Oleh karena itu para pendidik Islam sebagai pelanjut tugas Rasulullah SAW, seharusnya juga memposisikan diri sebagai teladan.
Tugas membina dan mengembangkan fitrah peserta didik pada hakikatnya tugas membina dan mengembangkan diri manusia dengan segala potensinya, kebebasannya, kreativitas dan dinamikanya, sehingga bila tidak disertai dengan sikap tanggung jawab pendidik membawa mereka secara konsisten ke sasaran/tujuan yang telah ditentukan, kemungkinan terjadinya salah didik, salah arah dan penyimpangan sangat berat dan itu sangat berbahaya. Lain halnya dengan binatang yang bersifat pasif, tidak memiliki potensi dan sejenisnya, kalaupun terjadi salah arah, tidak akan melampaui batas yang sangat berlebihan.
Disisi lain, salah satu dari muatan materi pendidikan Islam itu adalah penanaman sifat dan sikap tanggung jawab peserta didik. Oleh karena itu, sangat mustahil sifat dan sikap tanggung jawab itu dapat di alihkan, diwariskan atau ditanamkan kepada peserta didik jika dilakukan oleh seorang pendidik yang tidak/kurang memiliki sikap tanggung jawab
Pendidikan Islam sebagai sebuah ikhtiar bermakna kumpulan aktivitas/perilaku, termasuk perilaku pendidik. Dalam Islam, setiap perilaku mengandung konsekuensi pertanggungjawaban kepada berbagai pihak, khususnya kepada Allah SWT. Perilaku mendidik yang diperankan oleh para pendidik Islam secara otomatis harus dipertanggungjawabkan. Karena itu dalam pelaksanaannya harus disertai sikap tanggung jawab.
Dengan terpenuhinya berbagai criteria teknis dan moral yang dipersyaratkan ajaran Islam, diharapkan para pendidik Islam mampu melaksanakan fungsi dan peranan kependidikannya, sehingga berhasil membawa peserta didik mencapai tujuan ideal/tujuan akhir pendidikan Islam, kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.[[5]]
Sebenarnya bila diteliti lebih lanjut bahwa masyarakat Indonesia sembilan puluh persen beragama islam yang lainnya beragama kristen, hindu, budha, dll. Kemudian sudah mengeyam pendidikan madrasah ataupun pendidikan yang lebih  tinggi yang berbasis agama islam tetapi dari diri mereka sendiri belum mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan, padahal bila pendidikan agama islam diterapkan pada kehidupan saat ini, mungkin negara akan menjadi tentram dan sesuai dengan apa yang telah diharapkan selama ini.
Indonesia mempunyai sumber hukum pancasila dan UUD 1945 tidak seperti di negara Saudi Arabia yang berlandaskan hukum alqur’an, sehingga negara Indonesia belum bisa dikatakan negara islami. Jadi, dapat dimaklumi apabila masyarakatnya masih banyak yang tidak sejalan dengan ajaran agama karena perbedaan agama ataupun orang yang beragama islam yang terpangaruh dan mengikuti kebiasaan buruk mereka seperti: perilaku, model baju,dll. Sehingga dapat menggoyahkan pendirian mereka seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman.[[6]]
Peran  pendidikan agama islam di era gobalisasi ini mempunyai beberapa bentuk yaitu:
1)    Sebagai penunjuk jalan yang benar.  Tanpa adanya agama manusia tidak mempunyai pendirian yang teguh,tidak mempunyai aturanKarena agama merupakan sebuah kepercayaan yang harus dianut seseorang untuk menentukan arah tujuan hidup orang tersebut.
2)    Menciptakan budi pekerti yang luhur, dengan adanya akhlaqul karimah hubungan manusia satu dengan lainnya akan terjalin dengan baik, berbudi pekerti yang luhur juga sudah di cuntohkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Karena saat ini sangat dibutuhkan agar agama islam tidak meniru kepribadian negara barat yang melenceng dari agama islam.
3)    Dapat memanfaatkan kekuatan teknologi sebagaimana mestinya, teknologi adalah segalanya bagi kita, dengan adanya teknologi  akan melepaskan diri dari bentuk penindasan oleh orang yang kuat terhadap orang yang lemah, membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan serta keterbelakangan.Tetapi bila terjadi kesalahan penggunaan teknologi maka dapat mencemarkan akhlaq, tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam menerima ilmu, waktu digunakan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
4)   Untuk menjadikan filter bagi kebudayaan asing malalui nilai-nilai dan norma yang ada. Semua pikiran, perilaku, budaya serta norma-norma kita tidak harus berkiblat kepadmereka walaupun perubahan-perubahan itu juga dari negara asing. Resiko bila tidak mengikuti trend, bisa dikatakan “ ndeso”, “kampungan”, tetapi kenyataannya tradisi dan kebudayaan yang berasal dari negara asing tidak sesuai  dengan ajaran agama islam. Seperti, berpakaian  yang mengundang syahwat, minum-minuman yang beralkohol,dll. Alanglkah baiknya bila kita meniru yang baik saja dan meninggalkan yang jelek.
5)    Menghormati dan mengakui agama lain yang biasa disebut dengan pluralisme agama, menghormati perbedaan pendapat harus kita terima, karena akan menjalin ikatan yang baik antar umat dan bila tidak terjalin  hubungan baik maka tujuan negara tidak akan tercapai yakni terciptanya perdamaian abadi antar Negara.  Oleh karena itu, agar tercapai tujuan dari negara kita dituntut untuk toleransi terhadap agam lain.

 Dari kelima peran tadi, dapat dsimpulkan bahwa pendidikan agama islam bisa dijadikan tolak ukur untuk mengubah kesan negatif pada zaman modern yang mengorak-abrik moral bangsa dan apabila pendidikan agama islam ini benar-benar di pelajari lebih mendalam lagi dan diamalkannya  maka akan memberikan kesan positif bagi negara dan agama islam. Serta menjadikan anak -anak penerus bangsa yang  brintelektual tinggi dan berakhlaq mulia tanpa mencemaskan situasi dan kondisi yang memburuk. Selain itu, negara lain akan tertarik dengan bentuk- bentuk kita dalam menyikapi problem tantangan global, dan akan mengikiti apa yang telah dilakukan oleh negara kita.
Oleh karenanya, negara harus ditata sedemikian rupa agar tidak terkalahkan oleh tantangan zaman modern. kemudian tumbuhkanlah semangat anak-anak bangsa dan janganlah berputus asa untuk mendapatkan yang terbaik bagi negara.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah ini tentang pendidikan masa orde baru maka dapat disimpulkan bahwa, pendidikan Islam pada masa Orde Beru, masa itu banyak jalan yang ditempuh untuk menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal ini bisa dilihat dari SKB 2 Menteri tentang sekolah umum dan agama. Dengan adanya SKB tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bisa dilakukan dengan cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus. Namun dengan adanya UU tentang pendidikan nomor 2 bisa diharapkan mempertipis dikotomi pendidikan.
Pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya ( amal saleh).
Dengan demikian pendidikan yang Islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai Ilahiyah yang transcendental.
Pendidikan yang Islami sebagaimana di uraikan diatas akan tetap di perlukan untuk mengatasi berbagai masalah kemanusian yang di hadapi pada masyarakat moderen saat ini dan dimasa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

1.    Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta, hal.10
2.     Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, hal. 9
3.    Siddik, Dja’Far. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media,2006.
4.    [1]M. Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros,     Kudus, 2009, hal. 39-45
5.     Ahmad Syar’I, filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005, hal.35
6.     Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004, hal. 29


[1]  Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta, hal.10
[2]  Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, hal. 9
[3] Siddik, Dja’Far. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media,2006.
[4] M. Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros, Kudus, 2009, hal. 39-45
[5]  Ahmad Syar’I, filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005, hal.35
[6]  Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004, hal. 29


Demikianlah Artikel MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM

Sekianlah artikel MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM dengan alamat link https://gurupintarmengajar.blogspot.com/2017/02/makalah-tentang-peran-baru-pendidikan.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH TENTANG : PERAN BARU PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment

Loading...